Home Kultum Do’a dan Tipologi Manusia dalam Al Qur’an

Do’a dan Tipologi Manusia dalam Al Qur’an

547
0

Kultum Dzuhur disampaikan oleh Ustadz Dr. Lukmanul Hakim,M.Pd.I

Tema : Do’a dan Tipologi Manusia dalam Al Qur’an

Allah berkalam,

وَإِذَا مَسَّ ٱلْإِنسَٰنَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُۥ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُۥ نِعْمَةً مِّنْهُ نَسِىَ مَا كَانَ يَدْعُوٓا۟ إِلَيْهِ مِن قَبْلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ أَندَادًا لِّيُضِلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيلًا ۖ إِنَّكَ مِنْ أَصْحَٰبِ ٱلنَّارِ

“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya: kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) ebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu: sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka.” (az-Zumar: 8).

Jamaah yang berbahagia,

Ada sebagian orang, karena sudah merasa terpojok, terjepit, tidak ada lagi yang bisa diharapkan, semua pintu usaha terasa sudah tertutup dihadapannya, saat itu dia baru merasa lemah dan harus berdoa, menengadahkan kedua tangan kepada Sang Mahaperkasa.

Ia hanya akan meminta pertolongan kepada Allah ketika dalam kondisi butuh dan lemah. Apabila ia merasa aman dan nyaman, maka ia tidak segan-segan “meninggalkan” Tuhannya yang telah menolongnya pada waktu ia merasa lemah dan sempit.

Inilah titik kelemahan manusia yang diperingatkan oleh Allah SWT (Yunus: 23). Dalam sebuah hadis diriwayatkan:

أَعْجَزُ النَّاسِ مَنْ عَجَزَ عَنِ الدُّعَاءِ وَأَبْخَلُهُمْ مَنْ بَخِلَ بِالسَّلاَمِ

“Orang yang lemah adalah orang yang meninggalkan berdoa dan orang yang paling bakhil adalah orang yang bakhil terhadap salam.” (HR. ath-Thabarani dan disahihkan oleh al-Albini).


Sebaliknya, ada seseorang yang berdoa, bermunajat, menangis tersedu-sedu memohon kepada sang Maha Pemberi. Bukan karena ia saat itu merasa terpojok dan terjepit, bukan pula karena semua pintu usaha merasa sudah tertutup di hadapannya, justru ia masih dalam kondisi aman dan nyaman.

Namun ia tetap berdoa karena menyadari bahwa doa itu adalah sebuah penghambaan, kewajiban, dan bukti kesyukuran yang harus ia lakukan. Bukan hanya sekedar tempat “pelarian” ketika saat merasa buntu dan lemah. Namun Ia memiliki kekuatan untuk selalu bersyukur dan istigamah dalam menyandarkan dirinya kepada Allah dan memohon-Nya dalam segala kondisi, baik dalam kondisi lapang maupun sempit.

Inilah titik kekuatan yang dipuji oleh Allah dan Dia akan menambahinya dengan berbagai kenikmatan (Ibrahim :7).


Hadirin yang berbahagia,
Mengenai sikap manusia terhadap doa, al-Qur’an membagi mereka menjadi dua jenis tipologi.

Pertama: mereka yang selalu kembali kepada Allah, berdoa dalam setiap kondisi, baik dalam kondisi lapang maupun sempit, bahagia maupun susah, sehat atau sakit. Bagi mereka, dia adalah kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya, karena doa adalah salah satu bentuk pengabdian diri kepada Allah dan bentuk kesyukuran hamba kepada-Nya. Mereka sadar, bahwa setiap kesyukuran yang dilakukan akan membawa keberkahan dan bertambahnya kenikmatan (Ibrahim: 7).
Tipe manusia ini adalah sedikit.

Tidak banyak orang yang mampu bersyukur dalam segala kondisi (Saba: 13):


وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
…Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.

Diantara mereka adalah para nabi utusan Allah (an-nahl: 19):

فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِنْ قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”.

Kedua: Kebalikan dari tipologi pertama adalah orang yang berdoa dan kembali kepada Allah hanya jika ia butuh. Ia tidak pandai bersyukur atas nikmat yang diperoleh.

Terbukti, jika ia telah mendapatkan apa yang dia inginkan, ia lupa kepada Sang Pemberi. Inilah tipe kebanyakan orang.

Karakter semacam itu dalam Al-Our’an disebut sebagai karakter orang musrifin (berlebih-tebihan) (Yunus: 12):

وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنْبِهِ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَائِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَنْ لَمْ يَدْعُنَا إِلَىٰ ضُرٍّ مَسَّهُ ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya.

Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.

Dalam ayat lain disebut sebagai pecinta dunia (Yunus: 22-23), karena mereka hanya mencari dan ingin memenuhi kepentingan dunia belaka.

Ini terbukti di kala terpenuhi apa yang mereka butuhkan, mereka kembali kepada kebiasaan berbuat kemungkaran dan menyekutukan Allah (al-A’raf: 190).

Ketika mereka telah tertolong atau tercapai apa yang mereka inginkan, mereka segera berpaling dari Allah. Maka pantas jika balasan bagi mereka adalah siksaan api neraka (az-Zumar: 8).

Karakter semacam ini berbeda dengan karakter orang mukmin, di mana mereka selalu:

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (az-Zumar: 9)

Semoga bermanfaat
Nashrun min Allah wa fathun qoriib
Wabasyiril mu’minin
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barokatuh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.