Kultum Dzuhur disampaikan oleh Ustadz H.M.Nurzansyah,Hum
Tema : Menafsirkan Al Qur’an perlu Ilmu Ushul fiqh dan Qaidah Fiqh serta Nahwu Shorof
Jama’ah Sholat Dzuhur yang dirahmati Allah SWT
Jangan asal atau serampangan dalam menafsirkan ayat -ayat Al Qur’an, karena ada aturan yang telah dalam hala tersebut diantaranya perlu dengan ilmu qowa’idul Fiqh dan Ushul Fiqh
Misalnya Ayat Al Qur’an yang berkaitan hukum, ada cara untuk menafsirkannya sehingga menjadi dasar hukum dalam beribadah atau berijtihad yakni contohnya Kenapa orang Muhammadiyah dalam melaksanakan sholat subuh tidak membaca Do’a Qunut ?
Jawabannya:
Karena kita di Muhammadiyah berpegang teguh pada dalil Hadits tentang Hukum Do’a Qunut dibaca ketika ada Kepentingan yang mendesak dan Hal yang membahayakan, ini disebut juga dengan Qunut Nazilah, dalam Hadits sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَيَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ دَعَا عَلَى قَوْمٍ. رواه ابن خزيمة رقم (620) وغيره وإسناده صحيح
Dari Anas bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah qunut melainkan apabila beliau mendo’akan kecelakaan bagi kaum (kafir).
QUNUT NAZILAH
Qunut Nazilah adalah do’a qunut ketika musibah atau kesulitan menimpa kaum Muslimin, seperti peperangan, terbunuhnya kaum Muslimin atau diserangnya kaum Muslimin oleh orang-orang kafir. Qunut Nazilah, yaitu mendo’akan kebaikan atau kemenangan bagi kaum Muk-minin dan mendo’akan kecelakaan atau kekalahan, kehancuran dan kebinasaan bagi orang-orang kafir, Musyrikin dan selainnya yang memerangi kaum Muslimin. Qunut Nazilah ini hukumnya sunnat, dilakukan sesudah ruku’ di raka’at terakhir pada shalat wajib lima waktu, dan hal ini dilakukan oleh Imam atau Ulil Amri.
Imam at-Tirmidzi berkata: “Ahmad (bin Hanbal) dan Ishaq bin Rahawaih telah berkata: “Tidak ada qunut dalam shalat Fajar (Shubuh) kecuali bila terjadi Nazilah (musibah) yang menimpa kaum Muslimin. Maka, apabila telah terjadi sesuatu, hendaklah Imam (yakni Imam kaum Muslimin atau Ulil Amri) mendo’akan kemenangan bagi tentara-tentara kaum Muslimin.”
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut satu bulan berturut-turut pada shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, ‘Isya dan Shubuh di akhir setiap shalat, yakni apabila beliau telah membaca “Sami’allaahu liman hamidah” dari raka’at terakhir, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan kecelakaan atas mereka, satu kabilah dari Bani Sulaim, Ri’il, Dzakwan dan Ushayyah sedangkan orang-orang yang di belakang beliau mengaminkannya.
Hadits-hadits tentang qunut Nazilah banyak sekali, dilakukan pada shalat lima waktu sesudah ruku’ di raka’at yang terakhir.
Imam an-Nawawi memberikan bab di dalam Syarah Muslim dari Kitabul Masaajid, bab 54 : Istihbaabul Qunut fii Jami’ish Shalawat idzaa Nazalat bil Muslimin Nazilah (bab Disunnahkan Qunut pada Semua Shalat (yang Lima Waktu) apabila ada musibah yang menimpa kaum Muslimin)
Walaupun juga ada hadist lain yang mengatakan bahwa Nabi membaca Do’a Qunut di waktu Sholat Subuh sampai meninggalkan Dunia, tetapi karena ada hadist yang lain, maka hadits yang satu dinafikan/diabaikan karena ada hadist yang lain yang lebih kuat.
Teman-teman kita dari golongan lain, berpegang teguh pada dalil hadist nabi, bahwa Nabi tidak pernah meninggalkan Do’a qunut pada shalat Subuh, dengan dalil Hadits sebagai berikut:
HADITS-HADITS TENTANG QUNUT SHUBUH
مَازَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا .
Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Senantiasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berqunut pada shalat Shubuh sehingga beliau berpisah dari dunia (wafat).”
Pada kesimpulannya kami menghimbau
Jangan bertikai dalam hal yang tidak bermanfaat, mari kita bijak dan berdakwahlah dengan lemah lembut yang lebih maju dan mencerahkan.
Kami sendiri di Persyarikatan Muhammadiyah berpandangan bahwa qunut Shubuh harus dilakukan Jika ada kepentingan yang berbahaya yang menimpa (Qunut Nazilah), sehingga membaca Do’a Qunut tidak harus dilakukan di waktu ibadah Sholat Subuh saja, tapi dapat dilakukan di seluruh waktu sholat Wajib semuanya baik Dzuhur, ‘Ashar, Maghrib maupun ‘Isya, tetapi sebagai masalah ikhtilaf dari para ulama kita sejak dahulu kala, maka kita harus bijak dimasyarakat, Kalau ada imam yang berqunut dan kami menjadi makmumnya, kami akan tetap mengangkat tangan dan mengaminkannya, sebagaimana sikap dari Imam Ahmad dalam hal ini. Marilah kita sikapi hal ini dengan bijak dan tetap menjaga persatuan kaum muslimin
Sikap bijak ditunjukkan oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahbab dalam Ad-Duror As-Saniyyah fii Al-Ajwibah An-Najdiyyah (hlm. 12, cetakan kedua, tahun 1433 H) menyebutkan,
إِذَا أَمَّ رَجُلٌ قَوْمًا وَهُمْ يَرَوْنَ القُنُوْتَ أَوْ يَرَوْنَ الجَهْرَ بِالبَسْمَلَةِ وَهُمْ يَرَى غَيْرَ ذَلِكَ وَالأَفْضَلُ مَا رَأَى فَمُوَافَقَتُهُمْ أَحْسَنُ وَيُصِيْرُ المفْضُوْلْ هُوَ الفَاضِلَ
“Jika ada seseorang mengimami suatu kaum yang menganggap adanya syariat qunut atau menganggap basmalah dalam shalat itu dibaca jahar, sedangkan ia menganggap berbeda dari itu. Afdalnya adalah pandangan mereka. Ia hendaknya menyesuaikan diri dengan mereka, itu lebih baik. Akhirnya, perkara mafdhul (kurang afdal) menjadi fadhil (afdal) saat itu.”
Dalam melangkah kita sebagai Manusia harus Taat dan Faham terhadap Hukum Syari’at Agama Islam.
Apa itu Hukum dalam Pengertian Ushul Fiqh ?
Jawabannya:
Hukum menurut ulama Ushul Fiqh adalah perintah Allah SWT, yang berkenaan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan maupun larangan. Sedang hukum menurut ulama Fiqh adalah efek yang dikehendaki oleh titah Allah dari perbuatan manusia, seperti wajib,Sunnah, Mubah dan haram,
Siapa Allah SWT ?
Tuhan kita, Robb kita, yang menciptakan kita dan seluruh Alam yakni pembuat syariat, berkaitan perbuatan manusia dan sebagai tuntutan yang harus dilakukan,Tuntutan melakukan perbuatan dan atau meninggalkan perbuatan baik Wajib,Sunnah, Mubah, Makruh dan Haram.
1. Wajib
Definisi hukum wajib dan haram dalam kajian ushul fiqih. Artinya: “Wajib, dari sisi penyifatannya sebagai wajib adalah perbuatan yang diberi pahala bila dilakukan, dan disiksa jika ditinggalkan
Sedangkan wajib dalam Ilmu Fiqh adalah suatu perintah yang harus dikerjakan, di mana orang yang meninggalkannya berdosa. Hukum wajib dibagi menjadi 4 yakni kewajiban waktu pelaksanaannya, kewajiban bagi orang melaksanakannya, kewajiban bagi ukuran/kadar pelaksanaannya, dan kandungan kewajiban perintahnya.
Dalam Ushul fiqh wajib harus dilakukan. Perintah Wajib dalam Ushul fiqh Yakni perbuatan wajib pasti. Bagaimana kita mengetahui bahwa perintah tersebut hukumnya wajib yakni dengan Pendekatan Bahasa, mengetahui Maksud perintah tersebut karena mengerti kaidah bahasa Arab dengan Ilmu Alat, baik itu ilmu nahwu, sharaf, balaghah, mantiq, dan sebagainya.
Contohnya dalam Surat Al-Isra’ Ayat 78 terdapat lam perintah untuk melakukan sholat
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
2. Sunnah
As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’) ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah
Pengertian As-Sunnah Menurut Syari’at
As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam
Sunnah adalah Tuntutan Allah SWT kepada perbuatan manusia, Namun perbuatan tersebut bukan pasti,
Sunnah juga dapat diartikan suatu amal yang dianjurkan oleh syariat namun tidak mencapai derajat wajib atau harus.
Contoh Sholat malam tidak pasti, tahunya tidak pasti karena bisa dikerjakan atau tidak sesuai dengan kemampuan.
Surat Al-Muzzammil Ayat 2
قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا
bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)
Di dalam Al-Qur’an ada dua nama surat yang artinya kurang lebih sama, yaitu ‘orang yang berselimut’. Pertama surat Al- Muzzammil dan yang kedua surat Al-Muddatstsir. Yang pertama menyuruh yang diseru bangun dari selimut untuk menegakkan sholat malam, dan yang kedua menyuruh bangun dari selimut untuk kemudian memberi peringatan.
Dua surat ini, begitu menginformasikan beratnya untuk bangun di malam yang dingin, bangun dari hangatnya selimut dan nikmatnya tidur lelap. Tetapi rupanya justru di sinilah letak pembelajarannya bagi orang-orang yang ingin me pleasembuat perubahan besar dalam hidupnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakatnya.
Ketika menjelaskan tafsir surat Al Muzammil, Ibnu Katsir menyampaikan bahwa surat Al Muzzammil yang terdiri dari 20 Ayat itu, turun dahulu 19 ayat, sedangkan ayat terakhir -ayat ke-20 ditahan Allah di langit selama 12 bulan. Ayat yang terakhir inilah yang mengubah sholat malam yang semula wajib (berdasarkan 19 ayat yang pertama) menjadi sunnah. Artinya generasi awal para sahabat mendapatkan penggembelengan khusus berupa sholat malam yang panjang, separuh kurang sedikit atau bahkan lebih dari separuh malam -selama 12 bulan penuh!
Tidak heran maka generasi para sahabat yang merupakan generasi terbaik dari umat ini, dapat mencapai apa yang oleh istilah management modern disebut average high, orang rata-rata, tetapi rata-rata yang sangat tinggi. Secara rata-rata sangat tinggi kualitas mereka –bukan hanya satu atau dua saja yang tinggi kualitasnya– tetapi menyeluruh, antara lain karena digembleng melalui sholat malam, sholat malam yang panjang dan kontinyu tersebut di atas. Tetapi sesungguhnya Tidak ada amalan melebihi amalan wajib, maka jangan keliru bagi kita semua Sholat wajib harus di bagiskan baru sholat Sunnah di laksanakan sebagai tambahannya.
Dalam ilmu Fiqh Pengertian Sunnah berbeda seperti arti Sunnah dikerjakan pahala tidak tidak apa apa, redaksi ini jika difahami secara langsung membuat malas dalam beribadah. Maka kita harus faham betul mana Sunnah Mu’akad dan Sunnah Ghoiru Mu’akkad.
3. Haram
Firman Allah SWT mengenai perbuatan manusia untuk meninggalkan,
Dari segi batasan dan esensinya, Imam al Ghazali merumuskan haram dengan sesuatu yang dituntut syari’ (Allah SWT dan Rasul-Nya) untuk ditinggalkan melalui tuntutan secara pasti dan mengikat.
Dalam ilmu Fiqih Harām (bahasa Arab: الحرام ) adalah suatu tindakan yang dilarang dan masyarakat diminta untuk menghindarinya dan melakukan itu akan menyebabkan adanya hukuman. Haram adalah salah satu hukum dari lima hukum fikih yang berarti larangan melakukan sesuatu amalan.
Contohnya pada ayat tentang larangan Berzina dan mencuri
Surat Al-Isra’ Ayat 32
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk
Surat Al-Ma’idah Ayat 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
4. Makruh
Makruh merupakan Perbuatan tidak pasti, tuntutan tidak sekuat haram, Makruh adalah suatu perbuatan yang dirasakan jika meninggalkannya itu lebih baik daripada mengerjakannya. Secara bahasa, pengertian makruh adalah “sesuatu yang dibenci”. Dalam istilah Ushul Fiqh, kata makruh berarti sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, dimana jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa.
Sering mendengar kata “makruh”. Tetapi kita sesekali menemukan kata makruh tahrim atau karahatut tahrim, makruh tanzih atau karahatut tanzih, dan khilaful aula dalam literatur fiqih.Semua Perbuatan yang hukumnya makruh tanzih adalah perbuatan terlarang tanpa dosa yang menyalahi adab, yaitu memulai sesuatu dengan sesuatu serba kiri, minum sambil berdiri, mengipasi makanan yang masih panas, atau meninggalkan amalan yang dianjurkan, untuk menyebut sejumlah contoh perbuatan makruh tanzih.
5. Mubah
Mubah (bahasa Arab: المباح) adalah istilah fikih yang menunjukkan suatu perbuatan yang mana seseorang tidak memiliki tugas khusus terkait dengannya, sehingga ketika dikerjakan atau di tinggalkan hukumnya tetap sama dan tidak memiliki imbalan dan ganjaran bagi pelaku perbuatan.
Mubah adalah Melakukan Pilihan,boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan,
contoh : Perintah datang sesudah larangan
Kebolehan melaksanakan Ziaroh Kubur yang dahulu di larangan dan kemudian dibolehkan setelah Aqiqah ketauhidan ummat kuat,
Ziarah kubur merupakan salah satu perbuatan yang mengalami perubahan (nasikh-mansukh)
Hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadits berikut:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ، وَلَا تَقُولُوا هُجْرً
Artinya: Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, tapi (sekarang) berziarahlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur dapat melunakkan hati, menitikkan (air) mata, mengingatkan pada akhirat, dan janganlah kalian berkata buruk (pada saat ziarah). (HR Hakim).
Dalam ilmu Fiqih bahwa mubah semua ada kebolehan, maka kita harus lebih banyak berliterasi dalam beragama misalnya dalam mengkaji Fiqh kita mendalami kitab Al-Umm yakni sebuah kitab yang ditulis oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Kitab ini terdiri dari empat jilid yang isinya membahas 128 permasalahan fikih. Susunan permasalahan di dalam Al-Umm diurutkan sesuai dengan bab-bab pada ilmu fikih.
6. Al Wadhi’
Hukum wadh’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu itu sebagai sebab adanya yang lain atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai penghalang bagi sesuatu yang lain. Hukum wadh’i ada tujuh yaitu sebab, syarat, penghalang, ‘azimah, rukhsah, sah dan batal.
Misalnya : haid sebagai sebab penghalang seorang perempuan melaksanakan ibadah Sholat, seseorang yang membunuh bapak terhalang dapat warisan,perkawinan menjadi sebab halalnya hubungan suami istri. Perkawinan yang menjadi sebab mubahnya hubungan suami istri termasuk bahasan dalam hukum wadh’i.
Macam-macam & Contoh Hukum Wadh’i
Secara umum, hukum wadh’i terdiri dari 6 macam, yaitu sebab, syarat, penghalang (mani’), azimah dan rukhsah, serta sah dan batal.
Berikut ini penjelasan mengenai macam-macam hukum wadh’i dan contohnya, :
1. Sebab
Secara definitif, sebab dalam hukum wadh’i adalah tanda hingga lahirnya hukum Islam. Tanpa tanda (sebab) itu, seorang mukalaf tidak dibebani hukum syariat. Sebagai misal, tanda balig merupakan sebab bagi kewajiban hukum-hukum Islam. Anak kecil yang belum cukup umur (balig) tidak wajib salat, puasa, atau menjalankan ibadah fardu lainnya.
Contoh hukum wadh’i berkaitan dengan sebab lainnya adalah ketika seseorang menyaksikan hilal 1 Ramadan, umat Islam diwajibkan berpuasa. Berdasarkan hal itu, hilal adalah sebab bagi kewajiban puasa.
2. Syarat
Suatu ibadah atau perkara syariat lazimnya mewajibkan adanya syarat harus dipenuhi. Tanpa adanya syarat, perkara itu batal dan tak boleh dikerjakan.
Sebagai misal, saksi adalah syarat sahnya pernikahan dan niat menjadi syarat sahnya puasa. Tanpa saksi atau niat, maka kedua perkara tadi batal dan dianggap tidak sah.
Syarat adalah hukum wadh’i yang menjadi pengiring suatu ibadah atau sahnya hukum syariat Islam tersebut.
3. Penghalang (Mani’)
Jenis hukum wadh’i lainnya adalah penghalang atau mani’. Kendati seseorang dibebankan perkara syariat, namun karena adanya penghalang, perkara itu menjadi batal.
Sebagai misal, seorang anak berhak memperoleh warisan, namun apabila ia murtad, warisan itu tidak boleh ia terima. Murtad adalah penghalang dari hak warisannya dalam ketentuan Islam.
5. Azimah dan Rukhsah
Secara umum, suatu perkara syariat ditinjau dari pengerjaannya terbagi dalam dua kondisi, yaitu azimah dan rukhsah.
Suatu ibadah dalam kondisi azimah maksudnya berada dalam hukum asli perkara tersebut. Hukum asal yang belum berubah.
Misalnya, hukum salat lima waktu adalah wajib bagi seluruh mukalaf. Saking wajibnya, orang sehat dan sakit pun tetap wajib salat. Jika tak bisa salat berdiri, bisa salat duduk, berbaring, hingga salat dengan isyarat saja.
Sebaliknya, kondisi rukhsah adalah keringanan sebagai pengecualian dari kondisi azimah. Sebagai misal, seseorang haram memakan bangkai atau daging babi. Namun, jika tidak ditemukan makanan lain sehingga seseorang terancam mati kelaparan, ia memperoleh rukhsah boleh memakan bangkai atau daging babi.
6. Sah dan Batal
Suatu perkara syariat dianggap sah apabila sesuai dengan perintah syariat dan mendatangkan pahala di akhirat. Apabila ibadah wajib sudah sah dilakukan, kewajibannya gugur dan mukalaf terbebas dari tanggung jawabnya.
Sementara itu, apabila perkara syariat dianggap batal, ibadah itu tidak mendatangkan pahala di akhirat.
Selain itu, apabila ibadah wajib dianggap batal, kewajibannya belum gugur dan mukalaf harus mengulang lagi ibadah tersebut hingga memperoleh status sah.
Qisas dapat diartikan dengan hukuman setimpal atas pembunuhan atau pencideraan yang dilakukan kepada pelaku. Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya menjelaskan, ayat 178 menjelaskan adanya kesetaraan dalam pemberlakuan Qisas, baik dalam pembunuhan maupun dalam pencideraan. Namun bagi orang yang secara suka rela dimaafkan oleh saudaranya (pihak keluarga korban), maka hendaknya ia menunaikan kewajibannya dengan melakukan kebaikan dan membayar (diyat) secara suka rela.
Ajaran Bibel
Beberapa praktik hukum yang termaktub dalam Bibel memiliki kemiripan dan kesamaan dengan praktik hukum yang termaktub dalam Al-Quran.
Pertama, terkait hukum Qishas
Qishas merupakan salah satu istilah dalam hukum Islam yang berarti pembalasan, yaitu pembalasan (hukuman) yang diberikan kepada pelaku jinayat atas perbuatan dan pelanggaran yang telah dilakukan. Jinayat merupakan penyerangan manusia, baik penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan) dan penyerangan terhadap organ tubuh.
Selain itu, Qishas sering disebut sebagai hukum yang dibalas nyawa dengan nyawa. Dalam kasus pembunuhan, pihak keluarga korban diberikan kewenangan untuk meminta hukuman mati kepada pelaku (pembunuh). Sehingga hukuman kepada pembunuh setimpal dengan orang yang dibunuh.
Hukum qishas sebagai salah satu cara Allah agar manusia saling menjaga kelangsungan hidup (jiwa) antar sesama manusia.
Namun, seakan-akan hukum Qishas hanya milik umat Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah semata. Padahal, dalam Bibel juga mengajarkan tentang hukum Qishas.
Dalam Bibel Keluaran 21: 23-25 disebutkan:
“(23) tetapi jika perempuan itu mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa, (24) mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, (25) lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak.”
Semoga bermanfaat
Kurang lebihnya mohon maaf
Nashrun min Allah wa fathun qoriib
Wabasyiril mu’minin
Wa’alaikumsalam salam warahmatullahi wa barokatuh