Oleh: Sarli Amri, MA*

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah menetapkan 10 Dzulhijah 1443 H atau hari raya Idul Adha jatuh pada Sabtu, 9 Juli 2022. Hal tersebut tertuang dalam Maklumat Nomor 01/MLM/I.0/E/2022 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah 1443 H. Saat maghrib 29 Juni 2022, posisi bulan di Indonesia sudah berada di atas ufuk, maka kriteria wujudul hilal telah terpenuhi. Artinya, tidak melihat pada berapapun ketinggian hilal, selama berada di atas ufuk saat matahari terbenam.

Sementara pemerintah menggunakan kriteria baru MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang mengacu pada jarak sudut Bulan-Matahari (elongasi) minimum 6,4 derajat dan fisis gangguan cahaya syafak (cahaya senja) dengan parameter ketinggian minimum 3 derajat. Sebelumnya, kriteria lama MABIMS mengharuskan ketinggian minimal 2 derajat dan elongasi 3 derajat atau umur bulan 8 jam untuk menentukan Idul Adha.

Berdasarkan kriteria baru MABIMS tersebut, wilayah Indonesia pada saat Maghrib 29 Juni 2022 tinggi bulan umumnya kurang dari 3 derajat dan elongasinya kurang dari 6,4 derajat. Dengan begitu, hilal terlalu tipis untuk bisa mengalahkan cahaya syafaq yang masih cukup kuat sehingga hilal tidak dapat dirukyat. Secara hisab imkan rukyat (visibilitas hilal), data itu menunjukkan bahwa 1 Dzulhijah 1443 akan jatuh pada 1 Juli 2022 dan Idul Adha jatuh pada 10 Juli 2022. Meski demikian, proses penetapan Idul Adha akan diputuskan melalui sidang isbat. “Konfirmasi rukyat akan dilakukan pada 29 Juni dan diputuskan pada sidang isbat awal Dzulhijah 1443 Hijriah,” kata Thomas Jamaludin (Peneliti BRIN, Republika, Kamis, 2/6/2022)

Lalu bagaimana kaitannya dengan penentuan awal Zulhijjah di Arab Saudi yang notabe-nya, Padang Arafah sebagai tempat pelaksanaan ibadah wukuf, terletak di situ dan ini nantinya akan berakibat pada pelaksanaan puasa Arafah di tempat yang lain?

Sama halnya dengan Muhammadiyah, dalam menentukan awal bulan, Arab Saudi menggunakan Kriteria Hisab Hakiki Wujudul Hilal. Hanya saja, keduanya berbeda dalam markaz (tempat perhitungannya), di mana Muhammadiyah untuk tempat perhitungannya di Yogyakarta sedangkan Arab Saudi untuk tempat perhitungannya di Kota Suci Mekah. Berdasarkan perhitungan, ketinggian bulan di Mekah jelang Zulhijjah 1443 H adalah kurang lebih 5 derajat lebih sekian menit sehingga dengan ketinggian tersebut sudah sah untuk memulai tanggal dan bulan baru sejak malam itu dan besoknya. Dengan demikian, Arab Saudi akan memulai Zulhijjah 1443 H pada Kamis Pahing, 30 Juni 2022 M.

Dari sini dapat diketahui bahwa Arab Saudi dan Muhammadiyah akan bersama-sama memulai 1 Zulhijjah 1443 H pada Kamis Pahing, 30 Juni 2022 M sedangkan Pemerintah RI lebih lambat sehari, yaitu pada Jumat, 1 Juli 2022 M. (suaramuhammadiyah.id/2022/06/10).

Kelemahan Rukyat dan Kelebihan Hisab

Tidak ada yang meragukan bahwa Nabi Saw menggunakan rukyat dalam penentuan awal bulan kamariah. Bahkan pandangan para ulama mazhab telah sepakat menyatakan bahwa salah satu syarat masuknya bulan Ramadan adalah melihat hilal. Lantas mengapa Muhammadiyah malah menggunakan hisab?

Alasan mengapa persyarikatan Muhammadiyah yakin menggunakan hisab dalam penentuan awal bulan kamariah, di antaranya: 1). Semangat Al Quran adalah penggunaan hisab, 2). Hadis-hadis yang memerintahkan rukyat adalah perintah berillat, 3). Rukyat bukan ibadah, melainkan sarana, 4). Rukyat tidak bisa digunakan untuk membuat kalender unifikatif, 5). Rukyat tidak dapat meramalkan tanggal jauh hari kedepan, 6). Rukyat tidak bisa menyatukan awal bulan Islam secara global, 7). Jangkauan rukyat terbatas, 8). Rukyat menimbulkan masalah dalam pelaksaan puasa Arafah, dan 9). Faktor Alam seperti Cuaca.

Di zaman modern, penggunaan hisab semakin meluas dan didukung oleh ulama-ulama besar seperti Muhammad Rasyid Ridha, Mustafa al-Maraghi, Syeikh Ahmad Muhammad Syakir, Muastafa Ahmad az-Zarqa, Yusuf al-Qaradhawi, Syeikh Syaraf al-Qudhah, dan banyak yang lain. Dalam “Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam” tahun 2008 di Maroko, diputuskan bahwa, “Para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan kamariah di kalangan kaum Muslimin tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penggunaan hisab untuk menetapkan awal bulan kamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat … “ (Majalah Suara Muhammadiyah: No. 16, 2011).

Secara singkat keseluruhan problem rukyat itu adalah: 1) rukyat tidak bisa membuat sistem penanggalan yang akurat; 2) rukyat tidak dapat menyatukan sistem penanggalan (kalender) hijriah sedunia secara terpadu dengan konsep satu hari satu tanggal di seluruh dunia; 3) rukyat tidak dapat dilakukan secara normal pada kawasan lintang tinggi di atas 60º LU dan LS; 4) rukyat menimbulkan problem puasa Arafah karena tidak dapat menyatukan hari Arafah di Mekah dan kawasan lain pada bulan Zulhijah tertentu.

Bagaimana Pelaksanaan Puasa Arafah ?

Puasa Arafah adalah puasa yang dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Pada saat itu kaum muslimin yang sedang menunaikan ibadah haji tengah wukuf di Padang Arafah. Sedangkan bagi kaum muslimin yang sedang wukuf di Arafah dilarang berpuasa. Puasa Idul Adha atau puasa Arafah setiap tahunnya jatuh pada 9 Dzulhijjah atau 1 hari sebelum Hari Raya Idul Adha 1443 H. Berdasarkan Maklumat Muhammadiyah tentang Penetapan Hasil Hisab, Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah 1443 Hijriah, puasa Arafah akan jatuh pada 9 Dzulhijjah yang bertepatan dengan hari Jumat 8 Juli 2022.

Puasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijah disunahkan bagi orang yang tidak sedang melaksanakan ibadah Haji (tidak sedang wukuf di Arafah). Hal ini sesuai dengan beberapa hadis Nabi saw, antara lain sebagai berikut,

عَنْ أَبِى قَتَادَةَ الأَنْصَارِىِّ رَضِىَ الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ …صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ … [رواه الجماعة إلا البخارى والترمذى]

Dari Abu Qatadah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw ditanya … tentang puasa hari Arafah, lalu beliau menjawab: (Puasa hari Arafah itu) menghapus dosa-dosa satu tahun lalu dan satu tahun yang akan datang… (HR.  Aljamaah kecuali Bukhari dan Tirmidzi).

Pada dasarnya puasa Arafah, wukuf di padang Arafah dan tanggal 9 Zulhijah adalah satu kesatuan (terjadinya pada hari yang sama), sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qudāmah: Adapun hari Arafah adalah hari kesembilan di bulan Zulhijah, dinamakan demikian karena wukuf di padang Arafah dilaksanakan pada hari tersebut (hari kesembilan Zulhijah) (al-Mughni:1/112). Namun berdasarkan penjelasan di atas, Nabi saw dan para Sahabat sudah terbiasa puasa pada hari Arafah meskipun tidak ada dan belum terlaksananya wukuf di padang Arafah oleh umat Islam saat itu. Hal itu menunjukkan bahwa penamaan puasa Arafah tidak dikarenakan adanya jamaah Haji yang sedang wukuf di padang Arafah, tetapi puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijah, saat di mana semestinya dilaksanakan wukuf. Oleh karena itu, apabila pada tahun ini umat Islam tidak dapat melaksanakan ibadah Haji akibat adanya wabah Covid-19, umat Islam tetap disyariatkan untuk melaksanakan puasa Arafah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi saw dan para sahabat beliau. (muhammadiyah.or.id).

Taatkah Kepada Ulil Amri Jika Lebaran Idul Adha Berbeda ?

Jika antara Muhammadiyah dan pemerintah selisih satu hari dalam pentuan puasa dan lebaran tentunya perbedaan penentuan ini mengundang diskusi, dari polemik metode mana yang lebih valid antara hisab dan rukyat, sampai siapakah sesungguhnya Ulil Amri dalam penetapan awal bulan Hijriyah.

Khusus mengenai Ulil Amri, satu pihak menyatakan bahwa Ulil Amri adalah pemerintah, sehingga penetapan awal bulan Hijriyah dilakukan oleh Kementerian Agama. Apabila pemerintah telah menetapkan awal Syawal, maka semua penduduk yang beragama Islam harus mengikutinya. Bila tidak mematuhi ketetapan pemerintah berarti tidak mematuhi Ulil Amri. Muhammadiyah tidak taat terhadap Ulil Amri, dan tidak melaksanakan perintah Allah dalam QS. An-Nisa ayat 59.

Muhammadiyah sejatinya tidak menolak kewajiban patuh terhadap Ulil Amri karena perintahnya jelas termaktub di dalam Al Quran. Satu hal yang harus diperhatikan bahwa perbedaan pendapat sangat mungkin terjadi dalam pemahaman terhadap ayat Al Quran, tetapi bukan dalam sisi mematuhinya. Artinya Muhammadiyah menganggap Ulil Amri dalam penetapan awal bulan Hijriyah bukan pemerintah yang diwakili Kementerian Agama.

Secara bahasa, uli adalah bentuk plural dari wali yang bermakna pemilik atau yang menguasai. Bentuk plural ini menunjukkan bahwa “yang menguasai” itu tidak tunggal melainkan banyak. Sementara al-amr berarti perintah atau urusan. Kalau digabung, secara sederhana Ulil Amri berarti orang-orang yang memiliki kekuasaan dalam mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Dengan kata lain, mereka adalah pihak-pihak yang dapat diandalkan dalam menangani urusan kaum muslim.

Memang tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli tafsir menyebut bahwa Ulil Amri dalam QS. An-Nisa ayat 59 adalah penguasa politik. Imam Al-Thabari dalam kitab Jami al-Bayan menyatakan bahwa Ulil Amri yang tepat ialah Umara. Imam al-Zamakhsyari dalam kitab al-Kasyaf yang dimaksud Ulil Amri adalah Umara’ al-Haq dan Umara’ al-Saraya. Diperkuat kembali oleh Imam al-Syaukani dalam kitab Fath al-Qadir bahwa al-A’immah, al-Salathin, dan semua orang yang punya wilayah syar‘iyyah, bukan wilayah thagutiyah adalah Ulil Amri.

Ulil Amri Tak Sekedar Pemerintah

Sementara itu, sejumlah ulama tafsir menganggap istilah Ulil Amri lebih luas dari sekadar penguasa politik. Imam ar-Razi dalah kitab Mafatih al-Ghayb mengatakan bahwa Ulil Amri adalah “Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi.” Hal ini diperkuat oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam kitab Tafsir al-Manar bahwa Ulil Amri adalah “Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi” yakni kumpulan orang-orang profesional dalam bermacam keahlian di tengah masyarakat. Artinya, semua bidang kehidupan memiliki Ulil Amri-nya masing-masing. Seperti panglima perang, ulama, umara, dan lain sebagainya.

 Ulil Amri Menurut Muhammadiyah

Menurut ulama Muhammadiyah, almarhum Prof. Yunahar Ilyas dalam makalahnya yang dipresentasikan pada Halaqah Pra Munas Tarjih di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2013 menganggap pandangan ar-Razi, Abduh, dan Ridha adalah pendapat yang lebih tepat tentang definisi ulil amri.

Karenanya, ulil amri itu mencakup mulai dari pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan segala perangkat dan wewenangnya yang terbatas. Ulil amri juga mencakup para ulama, baik perorangan ataupun kelembagaan, seperti lembaga-lembaga fatwa dan semua pemimpin masyarakat dalam bidangnya masing-masing. Hal tersebut diperkuat dalam fatwa Tarjih yang terdapat dalam majalah Suara Muhammadiyah tahun 2018 menyebutkan bahwa dalam konteks kehidupan bernegara, yang menjadi Ulil Amri adalah Pemerintah.

Dengan demikian, rakyat wajib menaati pemerintah sepanjang tidak menyalahi syariat Allah. Jika kebijakan yang dibuat oleh pemerintah adalah untuk bermaksiat dan melanggar syariat Allah, maka kebijakan tersebut tidak boleh ditaati. Sejalan dengan sabda Nabi Saw: Tidak boleh taat dalam kemaksiatan. Ketaatan hanya dalam hal yang makruf (HR. al-Bukhari).

Sarli Amri, MA sedang berada di tanah suci.

 Ulil Amri punya Makna Luas

Akan tetapi, urusan keagamaan, apalagi ibadah mahdlah, harusnya diputuskan oleh lembaga yang punya kompetensi dan otoritas untuk itu, bukan oleh penguasa politik. Wewenang pemilik kekuasaan terbatas hanya pada persoalan-persoalan kemasyarakatan semata, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Sebab persoalan akidah dan keagamaan murni harus dikembalikan kepada Al-Quran dan as-Sunnah.

Dalam memahami nash, karena dalam sistem politik Indonesia tidak memiliki Grand Mufti seperti di Mesir, penguasa politik hendaknya menyerahkan kepada lembaga-lembaga fatwa yang ada seperti Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Lajnah Bahsil Masa’il, atau komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia. Lembaga-lembaga ini adalah ulil amri di bidang keagamaan murni. Karenanya, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dalam persoalan pemahaman terhadap teks Al Quran dan Al Sunah, karena hal itu bukan wilayah wewenangnya (muhammadiyah.or.id).

*Penulis Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Kota Tangerang Banten

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.