Kultum Dzuhur disampaikan oleh ustadz Dr. Milana Abdillah Subarkah, MA
Tema : Jangan gugat Pancasila (Darul Ahdi wa Syahadah)
Peringatan Hari Lahir Pancasila menjadi polemik ada yang mengatakan Hari Lahir Pancasila 1 atau 22 Juni bahkan ada juga yang berpendapat 18 Agustus tahun 1945.
Tanggal berapapun lahirnya Pancasila itu sudah final, Baik itu Ketuhanan,Kemanusiaan, Persatuan, Kebijaksanaan dan keadilan. Dalam muktamar Muhammadiyah ke 47 dimakasar sebagai Darul Ahdi wa Syahadah sebagai perjanjian dan persaksian ideologi Bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai Darul Ahdi berarti negeri yang bersepakat pada kemasalahatan. Artinya Darul Ahdi juga dapat dimaknai sebagai Darussalam yang berarti negeri yang penuh dengan kedamaian. Sedangkan Pancasila sebagai Wa Syahadah berarti negeri kesaksian dan pembuktian bahwa umat harus berperan aktif dalam pemahaman, penghayatan, dan laku hidup sehari-hari. Dalam arti luas, Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah bermakna bahwa setiap kelompok harus berlomba-lomba meraih kemajuan dan keunggulan berdasarkan etika sportifitas.
Substansi Pancasila harus diimplementasikan dan hadir di tengah kita semua sebagai pemersatu pandangan hidup masyarakat Indonesia yang bertujuan untuk menjaga perdamaian, kesejahteraan,penjajahan, bahkan perpecahan dari dinamika di dalam masyarakat. Kita bisa mengenal pandangan hidup sebagai ideologi.
Pancasila Turunannya digunakan pada Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam rangka alih status pegawai Komisi Pemberantasan Hukum (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) jika tidak lulus disingkirkan ini merupakan tindakan yang tidak tepat.
Maka jika ini dibiarkan penceramah agama dan menteri Agama serta ASN jika juga tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan bertentangan akan tereliminasi.
Termasuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim menyebut, Kemendikbud akan merevisi draf Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 dan memastikan frasa agama akan dimuat secara eksplisit dalam Visi Pendidikan Indonesia.
Tidak tercantumnya frasa agama dalam visi pendidikan sebelumnya dikritik sejumlah Ormas Islam. Yang berbunyi : “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.
Ini bertentangan dengan dengan Sisdiknas yang berbunyi : Pasal 31 ayat (5) yang berbunyi: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Disini kita melihat adanya upaya pemerintah untuk membenturkan Agama, Islam, Al Qur’an dan Pancasila bahkan ingin menghilangkan Agama di Republik Indonesia ini.
Dalam persyarikatan Muhammadiyah yang bertujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Menunjukan bahwa antara Masyarkat Islam dan Kemuhammadiyah tidak dapat terpisahkan melekat menjadi satu kesatuan.
Umat Islam harus mengawal, bersinergi dan mendukung Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam meninjau apakah visi Indonesia kedepan sudah final, apakah pendidikan Agama diterapkan atau tidak, jika ada kemungkaran dalam sabda Rasulullah SAW maka cegahlah dengan Tangan, jika tidak maka dengan lisan, jika tidak maka dengan hati do’akan agar mereka mendapatkan hidayah kembali pada jalan yang benar sesuai Al Qur’an dan As Sunnah.
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
[رواه مسلم]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.
Sebagai Umat Islam, Kader Persyarikatan Muhammadiyah,Kader Bangsa dan simpatisan Muhammadiyah kita harus tetap Optimis bahwa kita semua mampu mencegah kemunkaran yang ada untuk terciptanya negeri yang baldatun toyyibatun wa Robbin ghopur.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengatakan Pancasila yang sudah menjadi dasar negara dan ideologi negara dikodifikasi dan konsensus nasional Pancasila 18 Agustus 1945. Dengan pengalaman sejarah yang panjang pada era orde lama, orde baru dan setelah reformasi selama dua dasawarsa.
Untuk itu, lahirnya Pancasila bukan hanya ritual, seremonial dan dalam jargon dan retorika. Ia mengajak seluruh warga bangsa mewujudkan Pancasila, terapkan Pancasila dalam kehidupan bernegara melalui seluruh institusi kenegaraan.
Sehingga, kata Haedar, kita betul-betul menjadikan setiap sila Pancasila dasar nilai. Artinya, Pancasila benar-benar jadi dasar pijakan mengambil keputusan dan orientasi dalam kebijakan tersebut agar tetap berada di koridor Pancasila.
“Pertentangan sering terjadi karena kebijakan-kebijakan negara itu tidak sejalan jiwa, alam pikiran dan moralitas Pancasila,” kata Haedar, Selasa (2/6).
Kedua, kata Haedar, Pancasila harus jadi pedoman hidup berbangsa bagi seluruh komponen dan warga bangsa, termasuk elit bangsa. Pancasila tidak cukup hanya dihafal, menjadi doktrin dan pemikiran, serta Pancasila harus kita praktekkan.
Warga bangsa, elit bangsa, dimanapun berada dan dalam posisi apapun harus jadi contoh teladan dalam mempraktekkan Pancasila. Menjadi insan-insan berketuhanan yang maha esa, berperikemanusiaan adil dan beradab, berpersatuan Indonesia.
Lalu, berkerakyatan yang dipimpin hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kata ‘ber’ menunjukkan kata kerja, Pancasila jadi praktek nyata berbangsa dan bernegara.
Terakhir, perumusan Pancasila untuk menjadi bahan sosialisasi dalam kehidupan bernegara jangan ulangi yang telah terjadi di masa lalu. Kita atau sebagian kita atau kebijakan itu secara sadar atau tidak menyimpangkan Pancasila.
“Dari sila-silanya yang substansial menjadi hal-hal yang indoktrinatif di luar substansi seobyektif mungkin dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Jauhi politisasi Pancasila untuk kepentingan apapun,” ujar Haedar.
Sebab, ia mengingatkan, belajar dari sejarah setiap reduksi, penyimpangan dan politisasi Pancasila menimbulkan ketidakpercayaan ke Pancasila sendiri. Lalu, kebijakan-kebijakan negara yang terkait Pancasila semua perlu ketulusan.
Perlu kejujuran, jiwa negarawan, wawasan luas dan semangat kebersamaan dalam mewujudkan Pancasila sebagai ideologi negara. Jadi, jangan membawa pancasila jadi sesuatu yang sempit dan jangan juga membawa Pancasila melebihi dirinya.
“Itulah Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Tempatkan Pancasila secara proporsional sebagai dasar dan ideologi negara,”
Semoga bermanfaat
Nashrun minallah wafathun Qoriib
Wabasyiril Mu’minin
Wassalamu’alaikum Wr Wb