Home Kultum Hakekat Penciptaan Manusia

Hakekat Penciptaan Manusia

416
0


Kultum Dzuhur disampaikan Ustadz Nasrullah,M.Pd

Tema : Hakekat Penciptaan Manusia

Surat Al-Isra’ Ayat 70

۞ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا


Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

Kedudukan, Harkat, dan martabat manusia lebih Mulia dan lebih tinggi, dibanding makhluk Allah SWT yang lain, sebagaimana yang tekah dijelaskan dalam Firman-Nya dalam Q. S At Tin ayat ke 4


لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ


sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Dan juga dijelaskan kembali oleh Allah SWT dalam ayat lain bahwa manusia lebih mulia dari makhluk Allah SWT yang lain,jangankan sudah jadi bentuk manusianya, masih dalam kandungan tetap mulia, bahkan masih dalam cairan spermanya pun sangat mulia, karena itu cairan sperma manusia, walaupun keluar dari lubang yang najis, tetapi ketika sprema keluar, tidak dihukumi najis dan bahkan kedudukan sperma disini sangat mulia dan tinggi karena sebagai bibit untuk terciptanya bani adam, anak keturunan Nabi Adam as.

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan,

وَكُلُّ مَائِعٍ خَرَجَ مِنَ السَّبِيْلَيْنِ نَجِسٌ إِلاَّ المَنِيَّ

Setiap benda maupun cairan yang keluar dari qubul dan dubur adalah najis, kecuali mani.


Dari ‘Abdullah bin Syihaab Al-Khaulaniy, ia berkata bahwa ia pernah singgah di tempat ‘Aisyah. Lalu ia bermimpi sehingga dua pakaiannya terkena air mani. Maka ia celupkan ke dalam air. Ketika itu ia dilihat oleh budak ‘Aisyah dan kemudian budak tersebut memberitahukan kepada ‘Aisyah. Kemudian ‘Aisyah menghampirinya dan bertanya, “Mengapa dua pakaianmu engkau celup seperti itu?” ‘Abdullah bin Syihaab menjawab, “Aku telah bermimpi dan mengeluarkan air mani.” ‘Aisyah bertanya, “Apakah engkau melihat sesuatu (air mani) di kedua pakaianmu?” Aku menjawab, “Tidak.” ‘Aisyah berkata,

فَلَوْ رَأَيْتَ شَيْئًا غَسَلْتَهُ لَقَدْ رَأَيْتُنِى وَإِنِّى لأَحُكُّهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَابِسًا بِظُفُرِى

“Apabila engkau melihat sesuatu (air mani), maka basuhlah ia. Sesungguhnya aku pernah mengerik bekas air mani kering dari baju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan kuku-ku.” (HR. Muslim, no. 290)


Kenapa Air Sperma atau air mani tidak najis ?

Karena benda Cair tersebut menandakan, dimulainya anak cucu Nabi Adam as, dan akan melahirkan sesosok manusia yang mempunyai Fitrah ketuhanan dan Ketauhidana, seorang makluk Bani Adam.maka dari itu jangan saling menghina,
jangan sampai menghina dan meremehkan orang lain. Boleh jadi yang diremehkan lebih mulia dari kita di sisi Allah SWT.

Ada beberapa wasiat yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Jurayy Jabir bin Sulaim. Wasiat yang pertama adalah : jangan sampai menghina dan meremehkan orang lain. Boleh jadi yang diremehkan lebih mulia dari kita di sisi Allah.

Allah Ta’ala memberikan kita petunjuk dalam berakhlak yang baik,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS. Al Hujurat: 11)

Apakah Fungsi dari diciptakannya Manusia?

Jawabannya adalah untuk beribadah/ mengabdi kepada Allah Swt. Sebagaimana dijelaskan oleh Firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Adz Dzariyat ayat ke 56

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ


Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku

Ulama mendefinisikan ibadah sebagai bentuk ketaqwaan sebagai ketaatan, dengan pengertian taqwa adalah:

امتثال اوامرالله عزوجل واجتناب نواهيه

“ imtisalul awamirillah” : Melaksanakan seluruh perintah-perintah-Nya

“wajtinabu nawahiyah” : Menjauhi segala larangan-Nya

Manusia dalam menjalani hidupnya tentu selalu ibadah dengan segala aktivitas panjang dilakukan sebagai ibadah dan amal Sholih yang ditujukan untuk meraih Ridho Allah SWT, untuk dapat menjadi manusia berkualitas dan berbeda dari makhluk Allah SWT yang lain, maka manusia harus membekali diri dengan Ilmu Pengetahuan,

Ilmu Pengetahuan
Dengan ilmu pengetahuan ini manusia menjalani Roda kehidupan dapat membedakan mana yang baik mana yang buruk, sehingga ia berada di trek yang benar, Dengan Ilmu Pengetahuan semua menjadi lakukan dengan mudah dengan bantuan teknologi yang terus dikembangkan untuk kehidupan manusia itu sendiri.

Namun, Manusia tidak hanya sebatas Potensi Ilmu Pengetahuan saja yang dimiliki, mereka harus juga di imbangi dengan Ilmu Spiritual yakni menempuh kehidupan dengan perjalanan yang menggetarkan Qolbu/Hati kepada sang pencipta, kita harus sadar bahwa seluruh karya dan ilmu pengetahuan yang dimiliki tidak luput dari aset yang Allah SWT hadirkan dan titipkan kepada kita semua, sehingga dengan Nilai Batiniyah, Ilmu Spiritual, Rohaniyah ini akan mengikis Keangkuhan, kesombongan yang kerap terjadi ketika ilmu pengetahuan yang mendewakan akal menyelesaikan sebuah persoalan, maka Nilai yang kedua ini yakni nilai spiritual harus dipertahankan, dikuatkan dan diistiqomahkan untuk selalu ada dalam hati kita, sikap ketauhidan.

Kebaikan kehidupan adalah hadirnya keseimbangan Intelektual dan Spiritual yang dijadikan Amal Sholih untuk meraih keridhaan Allah SWT.

Bagaimana cara memiliki Sifat Batin / Spiritual yang baik yang tauhid?

Jawabannya: Dilatih dan belajar kepada para orang Alim, guru dan para orang sholih,

Sesungguhnya Sifat Batin yang baik, tidak mudah, tidak hadir begitu saja, tidak insant, melainkan harus di pelajari, dipahami dan diamalkan,

Para ulama terdahulu telah memberikan teladan dengan tidak sembarang dalam menilai seseorang seperti yang dilakukan IMAM MALIK rahimahullah, ia menyampaikan,”Aku tidak berfatwa, hingga telah bersaksi 70 ulama bahwa aku ahli dalam hal itu.”

Dalam riwayat lain Imam Malik menyampaikan,”Aku tidak berfatwa hingga aku bertanya kepada siapa yang lebih alim dariku, apakah ia melihat aku layak?”

Imam Malik menyampaikan,”Tidaklah pantas bagi seorang melihat bahwa dirinya ahli mengenai sesuatu, hingga bertanya kepada siapa yang lebih tahu darinya.” (Adab Al Fatwa wa Al Mufti wa Al Mustafti, hal. 18)

Demikianlah keadaan para ulama terdahulu, tidak gegabah berfatwa kecuali atas restu para ulama yang lebih Alim.

Al-Muwatta’adalah Karya Fenomenal Sang Imam.


Semoga bermanfaat, kurang lebih mohon maaf
Nashrun min Allah wa fathun qoriib
Wabasyiril mu’minin
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barokatuh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.