Kultum Dzuhur disampaikan oleh Ustadz H. Syamsuri,Lc.,MA
Tema : Doá Berlindung dari Ilmu yang Tidak Bermanfaat, Hati yang Tidak Khusyu’, Jiwa yang tidak Puas dan Doá yang tidak bermanfaat.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ
“Ya Allah … aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak merasa puas, dan dari doa yang tidak didengar (tidak dikabulkan).” (HR. Abu Dawud no. 1548, An-Nasa’i no. 5536, dan Ibnu Majah no. 3837. Hadits ini shahih.)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta ilmu yang bermanfaat setiap selesai shalat subuh dengan berdoa kepada Allah Ta’ala,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah … aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang thayyib, dan amal yang diterima.” (HR. Ibnu Majah no. 925. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani.)
Demikian juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon perlindungan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ
“Ya Allah … aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak merasa puas, dan dari doa yang tidak didengar (tidak dikabulkan).” (HR. Abu Dawud no. 1548, An-Nasa’i no. 5536, dan Ibnu Majah no. 3837. Hadits ini shahih.)
Berlindung dari Hati yang Tidak Khusyu’
Dalam bab ini hanya diterangkan satu hal saja, yaitu berlindung dari hati yang tidak khusyu’, sebagaimana sabdanya,
وَمِنْ قَلْبٍ لا يَخْشَعُ
“Dan dari Hati yang tidak khusyu’.”
Hati yang tidak khusyu’ membuat seseorang tidak takut terhadap Allah. Dia akan meremehkan perintah-perintah-Nya dan melanggar larangan-larangan-Nya. Ini karena hatinya terpaut dengan kesenangan dunia. Oleh karenanya, setiap muslim diperintahkan untuk memohon kepada Allah agar dijauhkan dari hati yang tidak khusyu’.
Pengertian Khusyu’
Khusyu’ secara bahasa artinya tunduk, tenang dan rendah diri serta tawadhu’. Allah berfirman,
وَخَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَنِ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْسًاً
“Dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.” (Qs. Thaha: 108)
Khusyu’ secara istilah diartikan: “Keadaan jiwa yang berdampak pada ketenangan dan tawadhu’ dalam bersikap.”
Pengertian khusyu’ menurut al-Qur’an, sebagaimana di dalam firman-Nya,
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Dan mintalah pertolongan (kepada) Allah dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhhya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang menyakini bahwa mereka akan menemui Rabb-mereka dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (Qs. al-Baqarah: 45-46)
Berlindung dari Jiwa yang tidak pernah merasa puas.
نَفْسٍ لا تَشْبَعُ artinya “Jiwa yang tidak merasa kenyang”. Jiwa manusia pada dasarnya tidak pernah kenyang dengan kesenangan dunia, kecuali mereka yang diberikan taufik dan hidayah dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Ini sesuai dengan hadits Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ مِثْلَ وَادٍ مَالاً لأَحَبَّ أَنَّ لَهُ إِلَيْهِ مِثْلَهُ ، وَلاَ يَمْلأُ عَيْنَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Seandainya manusia memiliki lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan harta yang banyak semisal itu pula. Mata manusia barulah penuh jika diisi dengan tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. al-Bukhari)
Agar jiwa ini terhindar dari sifat tidak pernah kenyang, hendaknya setiap Muslim melakukan hal-hal di bawah ini:
(1) Merenungi hakikat dunia yang fana dan sebentar. Ini disebutkan di dalam hadits Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اَللَّهُ, وَأَحَبَّنِي اَلنَّاسُ. قَالَ: اِزْهَدْ فِي اَلدُّنْيَا يُحِبُّكَ اَللَّهُ, وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ اَلنَّاسِ يُحِبُّكَ اَلنَّاسُ
“Seseorang mendatangi Rasulullah ﷺ, maka beliau berkata: ‘Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku kerjakan, Allah dan manusia akan mencintaiku’, maka Beliau bersabda: ‘Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia, maka engkau akan dicintai manusia’.” (HR: Ibnu Majah).
(2). Memahami bahwa isi dunia ini hanya tiga hal:
(a) aman di rumahnya
(b) sehat badannya
(c) bisa makan pada harinya.
Ini sebagaimana di dalam hadits ’Ubaidillah bin Mihshan al-Anshari radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah) .
Berlindung dari doá yang tidak didengar
Pada bab ke-9 ini fokus pada pembahasan berlindung dari doa yang tidak dikabulkan.
دَعْوَةٍ لا يُسْتَجَابُ لَهَا
“Doa yang tidak dikabulkan”
Kita diperintahkan untuk berlindung kepada Allah dari doa yang tidak dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu perlu diterangkan penyebab tidak terkabulkannya doa. Diantaranya adalah:
Sebab Pertama: Harta Haram
Harta yang dimakannya berasal dari sumber yang haram. Ini sesuai dengan hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ، فَقَالَ تَعَالَى : (( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا )) وَقَالَ تَعَالَى : ((يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ )) ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ: أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ؟
“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Maka, Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para Rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan’ (Qs. al-Mu’minun: 51) dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kalian’ (Qs. al-Baqarah: 172) kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, ‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim)
Sebab Kedua: Hati yang Lengah Berdzikir
Ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ ، وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ
“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim. Di dalam hadist terdapat perawi yang bernama Shalih al-Murri, salah seorang ahli zuhud. Menurut adz-Dzahabi orangnya termasuk matruk (ditinggalkan). Berkata al-Bazzar: Orang ini sibuk dengan ibadahnya, sehingga tidak menghafal hadits. At-Tirmidzi mengatakan: Hadist ini Gharib. Hadist ini dihasankan oleh sebagian ulama seperti al-Albani di dalam ash-Shahihah (594))
Sebagian ulama, seperti Ibnu Rajab di dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam menyimpulkan dari hadist di atas, bahwa salah satu syarat diterimanya doa adalah hadirnya hati ketika berdoa. Bahkan Ibnu al-Qayyim di dalam al-Jawab al-Kafi mengibaratkan doa dari hati yang tidak hadir atau hati yang lemah, seperti busur yang sudah rusak sehingga anak panah yang keluar darinya sangat lemah melesatnya.
Sebab Ketiga: Tidak Serius dalam Berdoa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ : اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ ، ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ، ارْزُقْنِي إِنْ شِئْتَ، وَليَعْزِمْ مَسْأَلَتَهُ، إِنَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ ، لاَ مُكْرِهَ لَهُ
“Janganlah salah seorang dari kalian mengatakan: ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau kehendaki, dan rahmatilah aku jika Engkau berkehendak, dan berilah aku rezeki jika Engkau berkehendak’. Akan tetapi hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam meminta, karena Allah sama sekali tidak ada yang memaksa.” (HR. al-Bukhari)
Larangan mengucapkan ‘insya Allah’ ketika berdoa sebagaimana yang disebutkan hadits di atas, karena dua alasan:
(1) Mengesankan bahwa orang yang berdoa tidak membutuhkan apa yang dia minta. Padahal kenyataannya tidak begitu. Dan ini bertentangan dengan prinsip tauhid, bahwa setiap hamba sangat membutuhkan Allah subhanahu wa ta’ala.
(2) Mengesankan bahwa Allah kadang memberi sesuatu karena terpaksa, bukan karena kehendak-Nya sendiri. (‘Abdullah al-Gunaiman, Syarah Kitab at-Tauhid min Shahih al-Bukhari: 2/256)
Inilah dua kesan yang tidak baik, manakala seseorang mengucapkan ‘insya Allah’ di dalam doa-doanya, sehingga ucapan seperti ini dilarang. Oleh karena itu di akhir hadits disebutkan bahwa: “karena Allah sama sekali tidak ada yang memaksa.”
Pertanyaannya, bagaimana dengan hadist Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang menyebutkan,
عن ابن عباس رضي الله عنهما؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل على أعرابي يعوده، قال: وكان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل على مريض يعوده قال: لا بأس طهور إن شاء الله فقال له: لا بأس طهور إن شاء الله قال: قلت: طهور؟ كلا، بل هي حمى تفور – أو تثور – على شيخ كبير، تُزِيرُهُ القبور. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: فنعمْ إذًا.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi seorang Badui yang sedang sakit. Dan setiap mengunjungi orang sakit, beliau mengucapkan: ‘Tidak apa, insya Allah menjadi penghapus dosa’. Begitu juga beliau ucapkan kepada orang Badui tersebut. Sang Badui pun berkata: ‘Penghapus dosa? Sekali-kali tidak, penyakit (yang saya derita) ini berupa panas bergejolak yang menimpa orang tua lanjut usia, yang mengantarkannya ke alam kubur.’ Maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Iya, kalau begitu’.” (HR. al-Bukhari)
Jawabannya:
Konteks hadist Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma di atas adalah pernyataan dan pemberitaan. Oleh karena itu, disunnahkan menambah di akhirnya dengan lafadh ‘insya Allah’. Adapun konteks hadist yang kita bicarakan sebelumnya adalah doa, sehingga dilarang untuk disisipi dengan lafadh ‘insya Allah’.
Perbedaaan keduanya bisa diperjelas dengan contoh di bawah ini:
Bila seseorang mendoakan kepada temannya dengan berkata: “Mudah-mudahan Allah merahmatinya” atau “Mudah-mudahan Allah menyembuhkannya dari berbagai penyakit”, maka tidak boleh menambahinya dengan lafadh ‘insya Allah’.
Sebaliknya jika dia menyatakan untuk temannya: “Dia akan sembuh, insya Allah” atau “Dia akan menjadi ahli surga, insya Allah”, maka ini dibolehkan bahkan dianjurkan.
Sebab Keempat: Berdoa untuk Maksiat
Ini sesuai dengan hadist Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ ، وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ : إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا . قَالُوا : إِذًا نُكْثِرُ . قَالَ : اللهُ أَكْثَرُ)
“Tidaklah seorang muslim berdoa dengan suatu doa yang tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturrahim kecuali Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga (pilihan); (1) segera dikabulkan permohonannya, (2) disimpan permohonannya (diberikan) di Akhirat, (3) dipalingkan dengan doa itu keburukan sebesar apa yang dia minta. Mereka berkata, ‘Kalau begitu, kami akan memperbanyak doa’. Beliau bersabda, ‘Allah akan memperbanyak’.” (HR. Ahmad. Al-Mundziri di dalam at-Targhib wa at-Tarhib menyatakan sanadnya jayyid dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Adab al-Mufrad (547))
Ini dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يزال يُستجابُ للعبد ما لم يدعُ بإثم، أو قطيعةِ رَحِمٍ، ما لم يستعجل))، قيل: يا رسول الله، ما الاستعجال؟ قال: ((يقول: قد دعوتُ، وقد دعوتُ، فلم أرَ يستجيبُ لي، فيستحسر عند ذلك ويَدَعُ الدعاء
“Doa seseorang di antara kalian, senantiasa akan dikabulkan selama ia tidak berdoa untuk perbuatan dosa ataupun untuk memutuskan tali silaturahim dan tidak tergesa-gesa. Seorang sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Yang dimaksud dengan tergesa-gesa adalah apabila orang yang berdoa itu mengatakan; ‘Aku telah berdoa dan terus berdoa tetapi belum juga dikabulkan’.’ Setelah itu, ia merasa putus asa dan tidak pernah berdoa lagi.” (HR. Muslim).
Semoga Bermanfaat
Nashrun min Allah wa Fathun Qoriib
Wabasyiril Mu’minin
Wassalamuálaikum Wr. Wb.