Oleh :
Dr. Sarli Amri, M.Ag[1]
Muktamar Tarjih di Sidoarjo memutuskan tetap adanya hijab dalam rapat Muhammadiyah yang dihadiri oleh Laki-laki dan Perempuan.[2] Adapun cara pelaksanannya diserahkan kepada yang bersangkutan dengan mengingat atau memperhatikan kondisi, waktu dan tempat. Keputusan Muktamar Tarjih 1968 didasarkan pada Firman Allah swt pada QS. An-Nur : 30-31 tentang laki-laki dan perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangan, memelihara kemaluan; jangan menampakkan perhiasannya (aurat), kecuali yang (biasa) terlihat.
Ayat di atas memberi pengertian bahwa pandang-memandang antar pria dan wantia lain (yang bukan mahram atau bukan suami isteri) tanpa hajat syar’i, begitu pula pergaulan bebas antara pria dan wantia, dilarang oleh Islam.
Kisah Soekarno Walk Out Karena Tabir dari Rapat Muhammadiyah
Catatan menarik kala Sukarno menyoal penggunaan tabir di suatu rapat Muhammadiyah Bengkulu (Januari 1939). Sikap protes Sukarno ditunjukkan dengan cara walk out (meninggalkan) rapat tersebut. Pasca kejadian, Sukarno bertemu dengan tokoh Muhammadiyah Haji Syuja dan Samaun Bakri. Keduanya sepakat dengan pandangan Sukarno. Haji Syuja menyebut tabir memang tidak diperlukan, karena KH Ahmad Dahlan pun berpendapat demikian.
Protes Sukarno masalah tabir nyatanya karena Sukarno menaruh harapan besar agar Muhammadiyah berhasil mengangkat umat dari pandangan kolot yang membelenggu untuk maju, dalam surat kabar Pandji Islam tahun itu, Sukarno berkata :
“…Saya adalah murid dari Historische School van Marx. Hal tabir itu saya pandang historisch pula, zuiver onpersoonlijk (bukan hal personal). Tampaknya seperti soal kecil, soal kain yang remeh. Tapi pada hakekatnya, soal mahabesar dan mahapenting, soal yang mengenai segenap maatsschappelijke positive (posisi sosial) kaum perempuan. Saya ulangi : tabir ialah simbol dari perbudakan kaum Perempuan ! Meniadakan perbudakan itu adalah pula satu historische plicht (tugas sejarah)!” [3]
Sukarno dalam protesnya menganggap penggunaan tabir melambangkan cara pandang Islam yang mundur. Tabir sendiri adalah pembatas perempuan dan laki-laki yang membuat jamaah perempuan tidak dapat melihat penceramaah atau jamaah lain dari lawan jenis.
Tak cukup dengan uraian dari Haji Syuja yang dikenal sebagai periwayat KH. Ahmad Dahlan, Sukarno meminta ketegasan soal hukum Islam dan pandangan Muhammadiyah ke tokoh Muhammadiyah lain yang juga sahabatnya, Kiai Haji Mas Mansur. Sukarno menganggap perintah Allah menundukkan pandangan (ghaddul bashar) sudah cukup sebagai pedoman dalam relasi muamalah laki-laki dan perempuan sehingga tidak perlu tambahan seperti tabir yang justru membuat perempuan terkungkung.
Batasan Aurat ?
Para ulama berbeda pendapat mengenai batas-batas aurat wanita, yang demikian karena perbedaan penafsiran QS. An-Nur : 30-31.
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menundukan pandangannya dan menjaga kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. An-Nur : 30)
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang mu’min: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ketubuhnya. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab : 59)
Untuk memahami ayat tersebut, perlu memahami lebih dahulu dua kata kunci yaitu : aurat dan jilbab. Aurat menurut bahasa berarti : segala sesuatu yang harus ditutupi; segala sesuatu yang menjadikan malu apabila dilihat. Menurut istilah, ‘aurat ialah anggota badan manusia yang wajib ditutupi, dan haram dilihat oleh orang lain, kecuali orang-orang yang disebutkan pada QS. An-Nur : 31.
Jilbab berasal dari kata jalbaba yang berarti memakai baju kurung. Para ulama berbeda pendapat mengenai arti jilbab. Sebagian ulama mengartikannya baju kurung; sedang ulama lainnya mengartikannya baju wanita yang longgar yang dapat menutupi kepala dan dada. Al-Asy’ary berpendapat jilbab ialah baju yang menutupi seluruh badan. Ulama lain berpendapat bahwa jilbab ialah kerudung wanita yang dapat menutupi kepala, dada, punggung. (Ibnu Manzur, Lisanul’ Arab). Menurut Ibnu Abbas, jilbab ialah jubah yang dapat menutup badan dari atas hingga ke bawah. Menurut al-Qurtuby, jilbab ialah baju yang dapat menutup seluruh badan. Maka ditarik kesimpulan jilbab mempunyai pengertian :
- Jilbab ialah kerudung yang dapat menutup kepala, dada dan punggung yang biasa dipakai oleh kaum wanita.
- Jilbab ialah semacam baju kurung yang dapat menutup seluruh tubuh, yang biasa dipakai kaum wanita.
Jika pengertian tersebut digabung maka jilbab ialah pakaian wanita yang terdiri dari kerudung dan baju kurung yang dapat menutup seluruh auratnya.[4]
Dalam Tanya Jawab Agama Jilid 7 tentang Aurat dan Jilbab, majelis Tarjih berpandangan bahwa pendapat aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan adalah lebih kuat, dan pendapat tersebut lebih pas bagi muslimah di Indonesia.[5] Diantara dalilnya adalah HR. Abu Dawud, Rasulullah saw. bersabda, yang artinya : “Wahai Asma, sesungguhnya seorang perempuan itu jika sudah haid (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya (HR. Abu Dawud).[6]
Dalil yang memperkuat pendapat bahwa wajah dan dua telapak tangan adalah bukan aurat, ialah bahwa dalam melakukan shalat dan ihram, perempuan harus membuka wajah dan dua telapak tangannya. Seandainya kedua anggota badan tersebut termasuk aurat, pasti tidak diperbolehkan membuka keduanya pada waktu mengerjakan shalat dan ihram, sebab menutup aurat adalah wajib, tidaklah sah shalat atau ihram seseorang jika terbuka auratnya.[7]
Tanya Jawab Agama Jilid 4 masih tentang masalah wanita, Majelis Tarjih memberikan tanggapan pada pertanyaan bagaimana hukumnya perempuan memakai cadar dan apakah ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan hadis ? Dengan mengemukakan QS. An-Nur : 31, QS. al-Ahzab : 59, dan HR. Abu Dawud dari ‘Aisyah ra, tentang batas aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, sebagai dasar. Ketiga dalil/nash tersebut tidak mengisyarakatkan perintah pemakaian cadar, bahkan jika diperhatikan, pemakaian cadar bertentangan dengan isi ayat-ayat dan hadis di atas.[8]
Muhammadiyah lebih meyakini bahwa pada diri muslimah keseluruhannya adalah aurat kecuali bagian wajah dan telapak tangan, hal ini didasarkan pada pemahaman komprehensif atas ayat-ayat al-Quran dan beberapa hadis maqbul.
يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَٱشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوٓا إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A‘raf : 31)
Kata zinatakum pada ayat diatas dimaknai dengan baju ketika shalat atau terjemahan bebasnya adalah menutup aurat ketika shalat. Telapak tangan pada kutipan dalil-dalil di atas dimaknai bagian dalam dan luar/punggung tangan. Hal ini dinukil dari pendapat Ibnu ‘Abbas, Abu Ishaq as-Suba’i dan Abu al-Ahwas dalam tafsir Ibnu Katsir berkenaan dengan lafal Wala Yubdina Zinatahunna adalah memperbolehkan cincin seorang muslimah untuk terlihat, sementara gelang tangan-kaki, anting-anting dan kalung tidaklah diperbolehkan dengan alasan letak perhiasan tersebut di bagian tubuh yang merupakan aurat muslimah dan bukan pada zat perhiasan itu sendiri (Ibnu Katsir, III : 348).[9]
Pilihan Wanita Lebih Utama Shalat di Rumah atau di Masjid ?
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي وَابْنُ إِدْرِيسَ قَالَا حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ [رواه مسلم: الصلاة: خروج النساء إلى المسجد إذا لم يترتب عليه فتنة: 668]
“Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami, ayahku dan Ibnu Idris telah menceritakan kepada kami, keduanya berkata; ‘Ubaidullah telah menceritakan kepada kami, diriwayatkan dari Nafi, diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda ; “Janganlah kalian melarang (mencegah) hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah.” (HR. Muslim)[10]
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا الْعَوَّامُ بْنُ حَوْشَبٍ حَدَّثَنِى حَبِيبُ بْنُ أَبِى ثَابِتٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ » [رواه أبو داود: ماجاء فى خروج النساء إلى المسجد: 567: الجلد 1: 222]
“Usman bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami, Yazid bin Harun telah menceritakan kepada kami, al-Awwam bin Hausyab telah mengkhabarkan kepada kami, Habib bin Abi Sabit telah menceritakan kepadaku, diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata, Rasulullah saw bersabda ; “Janganlah kalian melarang istri-istrimu (mendatangi) masjid-masjid, sedang (shalat di) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (HR. Abu Dawud)[11]
- Muslim dari sahabat Ibnu Umar dapat dipahami bahwa kaum laki-laki dilarang untuk menghalang-halangi perempuan pergi ke masjid untuk melakukan shalat berjamaah. Begitupun Buya Hamka menegaskan jika mereka ingin turut dalam shalat Jumat jangan dihalangi.[12] Namun, shalat dirumah lebih afdhal.[13] Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa hadis ini dan hadis-hadis yang semakna menunjukkan bahwa perempuan tidak dilarang untuk mendatangi masjid, akan tetapi dengan memperhatikan beberapa syarat, misalnya mereka tidak memakai wangi-wangian yang berlebihan, menggunakan pakaian yang menutup aurat, tidak ikhtilat dengan kaum pria, juga tidak menimbulkan fitnah.[14]
Shalat jamaah di masjid bagi perempuan dapat dilakukan di masjid bersama jamaah laki-laki atau di mushala khusus perempuan. Mushala ‘Aisyiyah pertama kali didirikan Nyai Dahlan di Kauman 1922 digunakan untuk shalat jamaah para perempuan, belajar membaca al-Quran, dzikir dan doa, termasuk doa shalat dengan fasih, meluruskan akidah, tuntunan akhlak karimah, muamalah duniawiyah,[15] membimbing kaum wanita ke arah kesadaran beragama, serta meningkatkan harkat martabat kaum wanita.[16]
Tujuan beragama seseorang itu rata-rata untuk mencari ketenangan batin. Dalam masalah pengahayatan keagamaan, tampaknya golongan wanita lebih dominan, karena faktor pembawaan mereka yang umumnya cenderung pertimbangan rasa (emosional). Bagi Wanita, yang terpenting dari keberagamaan itu dapat merasakannya secara langsung.[17] Sehingga terpancar kepribadian yang shalih yang menghadirkan kedamaian dan kemanfaatan bagi diri dan sesama.[18]
Risalah Perempuan Berkemajuan
Keputusan Muktamar 48 ‘Aisyiyah tahun 2022 tentang Risalah Perempuan Berkemajuan memiliki pandangan terhadap peran perempuan lebih luas. ‘Aisyiyah memandang bahwa dengan karakter berkemajuan, perempuan memiliki kesempatan luas sekaligus penting sebagai aktor perubahan dalam berbagai bidang kehidupan.[19]
Risalah Perempuan Berkemajuan didasari pada spirit kelahiran ‘Aisyiyah yang dilandasi oleh nilai-nilai dasar Islam tentang kesetaraan dan kemajuan perempuan di tengah keterbatasan akses, mendorong dan memberi kesempatan perempuan untuk maju dalam seluruh aspek kehidupan.
Islam mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara di hadapan Allah, saling melengkapi dalam menjalankan tugas dan perannya baik dalam ranah domestik (rumah tangga) maupun publik (masyarakat), keduanya mempunyai potensi, tugas, peran, dan peluang pengembangan diri.[20] Tidak ada superioritas dan subordinasi (diunggulkan dan direndahkan) masing-masing memiliki potensi dan fungsi.
Buya Hamka menegaskan syariat dalam agama Islam manusia sama kedudukannya, mereka hanya satu makhluk yang bernama insan atau manusia, keturunan Adam dan Hawa, yang beroleh kemuliaan di sisi Allah swt hanyalah siapa yang lebih bertaqwa kepada-Nya (QS. Al-Hujurat : 13).[21] Maka jalan yang baik adalah Kembali ke jalan tengah yang diwariskan Nabi saw. Kaum perempuan tidak dikurung dan ditindas, tetapi dipupuk rasa tanggung jawabnya atas dirinya, dengan bimbingan laki-laki, dalam rangka membangun masyarakat yanhg beriman.[22]
Penjelasan Tabir dari Majelis Tarjih
Hijab adalah sesuatu yang dapat menutup/ menjaga pandangan antara pria dan wanita lain (yang bukan muhrim atau bukan suami isteri). Hijab itu boleh berwujud tabir, apabila masih/ tetap dikhawatirkan saling tidak dapat menjaga diri masing-masing dan pandang-memandang yang haram terlarang, boleh juga tidak berwujud tabir, apabila telah terjamin tidak akan ada pandang-memandang yang dikhawatirkan ter-sebut. Jadi, tidak diharuskan menghilangkan tabir dan tidak pula diharuskan memakai tabir.[23]
Mengenai hijab yang mana dari keduanya yang dipilih di jalankan adalah tergantung pada keyakinan/pendapat Muhammadiyah setempat. Apakah akan memakai hijab yang berwujud tabir ataukah yang tidak berwujud tabir.[24] Maksud HPT perihal “cara pelaksanannya diserahkan kepada yang bersangkutan dengan mengingat/ memper-hatikan kondisi, waktu dan tempat”, berarti terserah kepada kita, menurut situasi dan kondisi setempat, bagaimana keyakinan/pendapat dari penyelenggara, lebih baik lagi jika Majelis Tarjih setempat yang menentukan dan memberi-kan petunjuknya.[25]
Semangat Re-Tajdid dalam Tabir ?
Tajdid mengandung arti mengembalikan sesuatu ke asalnya (‘adat al-sya’i ka-l-mubtada), menghidupkan (al-ihya) dan membangun, mem-perbaharui (al-ishlah).[26] Gerakan tajdid (pem-baharuan) meliputi ; perumusan Pelajaran al-Islam dengan mengembalikan pada sumber pokok al-Quran dan al-Sunnah, serta pengembangan pemikiran dalam pemahaman dan pelaksanaan ajaran dimaksud.[27] Tajdid sungguh merupakan usaha dan upaya yang berarti untuk menyegarkan dan memperbaharui pengertian dan penghayatan umat Islam terhadap agamanya berhadapan dengan perubahan perkembangan masyarakat.[28]
Hendaklah paham agama yang sesung-guhnya itu dibentangkan dengan arti yang seluas-luasnya, boleh diujikan dan dibandingkan, sehingga kita warga Muhammadiyah mengerti perluasan agama Islam, itulah yang paling benar, ringan dan berguna maka dahulukanlah pekerjaan agama itu.[29] Pada wilayah ijtihad yang begitu luas ini Muhammadiyah bergerak dengan lentur untuk memproduksi segala macam kebaikan, keindahan dan kebenaran Islam dalam berbagai manifestasi dan ekspresinya.[30]
Beragama yang mencerahkan mengem-bangkan pandangan, sikap, praktik keagamaan yang menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan, adil, ihsan, tanpa diskriminasi sebagai aktualisasi nilai dan misi rahmatan lil alamin.[31]
Simpulan :
- Tarjih Muhammadiyah bersifat dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman, pandangan mengenai penggunaan tabir dapat berkembang seiring perubahan kondisi dan kebutuhan masyarakat.
- Tarjih mengakui bahwa penggunaan tabir dalam pertemuan atau rapat, termasuk dalam masjid, dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi setempat.
- Tarjih tidak mengharuskan penggunaan tabir dalam bentuk tertentu.
- Muhammadiyah mengambil pendekatan yang luwes, moderat, dan fungsional, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariat namun terbuka terhadap adaptasi.
Rekomendasi dan Saran :
- Sebagai Gerakan tajdid maka para takmir masjid-masjid Muhammadiyah perihal tabir sebaiknya mengarah pada pendekatan yang fungsional, adaptif, dan berorientasi pada peningkatan kualitas ibadah bagi jamaah. Tidak terpaku pada bentuk tabir fisik yang kaku dari masa lalu, melainkan mencari solusi modern yang tetap menjaga prinsip syariat. Prinsip tajdid juga berarti adaptasi dengan konteks, terlebih Muhammadiyah dikenal sikap luwesnya pada masalah furu’iyyah.
- Secara historis, penekanan penting bahwa zaman Nabi Muhammad saw tidak ada tabir fisik permanen seperti yang umum kita lihat sekarang. Praktik yang ada adalah pemisahan shaf (barisan), keberadaan tabir fisik permanen seperti tirai tinggi, dinding, atau bilik khusus merupakan perkembangan kemudian dalam sejarah Islam. Tabir bukan sunnah nabi secara harfiah, melainkan sekadar bentuk ijtihad yang bisa disesuaikan (interpretasi ulama).
- Tujuan filosofis tabir adalah menjaga kekhusyukan dan mencegah fitnah (sadd al-dzari’ah), maka tabir harus berfungsi untuk meningkatkan kekhusyukan dan kenyamanan kualitas perempuan dalam beribadah, bukan sebaliknya. Jika tabir justru menghalangi pandangan, akses suara, atau menciptakan lingkungan tidak nyaman (panas, pengap, gelap, audio tidak support) maka ia tidak memenuhi tujuan syariat yang lebih luas yaitu kemaslahatan. Diskriminasi (dzhalim) dalam fasilitas adalah hal yang perlu dihindari. Implikasi kedepan hal ini bisa mengurangi motivasi mereka untuk datang ke masjid dan berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan di kemudian hari.
- Secara psikologis, kembali pada esensi pemisahan shaf, adapun tabir fisik, itu adalah wasilah (sarana). Mengkaji ulang apakah tabir fisik yang rigid, tinggi dan tertutup rapat adalah satu-satunya atau cara terbaik untuk mencapai tujuan pemisahan shaf dan kekhusyukan di zaman modern. Mungkin ada cara yang lebih efektif, tidak menimbulkan efek negatif (terisolasi, terpinggirkan atau tidak menjadi bagian integral dari jamaah utama) terutama jika tempat shalat mereka terpisah jauh, tertutup rapat, stigma ruang shalat perempuan menjadi “kelas dua” atau “dua masjid dalam satu masjid”.
- Secara sosiologis beberapa tempat shalat perempuan di balik tabir adalah area yang kurang terawat, minim fasilitas, atau bahkan di tempat yang tidak strategis (misalnya di lantai atas, di belakang pilar, dst). Perempuan memiliki hak yang sama untuk beribadah dengan layak, khusyuk, kesetaraan akses dan kualitas ruang ibadah. Muhammadiyah selalu menekankan kesetaraan derajat di hadapan Allah dan pentingnya persatuan.
- Mendorong desain tabir yang modern, fungsional, dan humanis, bukan sekadar sekat fisik yang kaku. Tabir sebaiknya didesain agar mereka dapat mengikuti gerakan shalat dengan baik dan merasa terkoneksi dengan shalat berjamaah. Ini bisa berupa tabir/partisi rendah (tanpa mengganggu adab), partisi semi-transparan, jaring-jaring, atau dinding rendah dengan jarak yang cukup/ pengaturan ruang yang memungkinkan garis pandang yang jelas. Hal ini meningkatkan kualitas pengalaman spiritual bagi perempuan, sehingga masjid benar-benar menjadi rumah Allah yang nyaman dan inklusif bagi seluruh jamaah, baik laki-laki maupun perempuan.
- Fokus pada etika kesalehan individu dengan mengedukasi dan mengembangkan narasi yang menekankan tanggung jawab pribadi dalam menjaga pandangan (ghaddul bashar) dan mengendalikan pikiran, bukan semata-mata mengandalkan pembatas fisik, karena kekhusyukan adalah urusan hati yang tidak hanya tergantung pada keberadaan tabir.
- Artikel ini bukan tentang menolak tradisi, melainkan menghidupkan kembali esensi syariat (pemisahan shaf untuk kekhusyukan dan adab) dengan cara yang relevan dan mencerahkan di era kontemporer.
Hanya kepada Allah hamba memohon ampun, nashrun minallah wa fathun qarib wa basyyiril mukminin.
Ciledug Tangerang, 09 Muharam 1447 H / 04 Juli 2025 M
Footnote:
[1] Penulis adalah Wk. Ketua PDM Kota Tangerang, Dosen Al-Islam dan Kemuhammadiyahan
[2] PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2019), hal. 301 dan 315-316.
[3] https://muhammadiyah.or.id/2023/01/kisah-soekarno-walk-out-di-rapat-muhammadiyah-karena-tabir-niat-utama-menjaga-islam-berkemajuan-ala-muhammadiyah/
[4] https://tarjih.or.id/apakah-jilbab-sama-wajibnya-dengan-shalat/ dan juga https://fatwatarjih.or.id/penjelasan-seputar-jilbab-dan-aurat-wanita-muslimah/
[5] https://suaraaisyiyah.id/pandangan-muhammadiyah-tentang-pakaian-syari/
[6] Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih ; Tanya Jawab agama 7, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2015), Cet. II, hal. 58-72.
[7] Dalam Adabul Mar’ah fil Islam, Keputusan Muktamar Tarjih 1972 dinyatakan bahwa sebagai makhluk terhormat dan mulia, manusia memiliki rasa kehormatan, rasa malu, dan mengerti bagian tubuh yang tidak pantas diperlihatkan, dan ini merupakan anugerah Allah swt. Berpakaian adalah wujud memenuhi kebutuhan akan rasa malu dan pengertian perlunya mengenakan pakaian. Pakaian perlu memenuhi tiga kegunaan, yaitu : (a) menutup bagian tubuh yang tidak pantas terlihat; (b) hiasan dan keindahan yang tidak meninggalkan kesusilaan agama, dan; (c) menjaga kesehatan. Ketiganya disempurnakan dengan pakaian hati, yaitu takwa (QS. Al-A’raf : 26).
[8] Manusia dijadikan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal satu sama lain sebagaimana QS. Al-Hujurat : 13. Dalam tata pergaulan, salah satu cara mengenal adalah melalui wajah. Oleh karena itu, sebaiknya wajah ditampakkan, agama juga tidak memerintahkan menutup wajah. Lihat Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih ; Tanya Jawab Agama Jilid 4, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2013), Cet. VII, hal. 238-239.
[9] https://web.suaramuhammadiyah.id/2021/08/11/aurat-perempuan-rambut-dan-kaki-terlihat-sedikit-ketika-shalat/
[10] Kitab as-Salah, bab Khuruj an-Nisa Ila Al-Masjid Idza Lam Yatarattab ‘Alaihi Fitnah, no. 668
[11] Bab Maa Ja`a fi Khuruj an-Nisa`i ilaal-Masajid, hadis no. 567, jilid 1, hal. 222.
[12] Hamka, dalam Buya Hamka Berbicara Tentang Perempuan, (Jakarta : Gema Insani Press, 2017), hal. 21
[13] Hamka, 1001 Soal Kehidupan, (Jakarta : Gema Insani Press, 2017), cet. II, hal.168
[14] https://fatwatarjih.or.id/shalat-bagi-wanita-lebih-utama-di-rumah-atau-di-masjid/, juga Majalah Suara Muhammadiyah : No. 11, 2011
[15] https://suaraaisyiyah.id/kesetaraan-laki-laki-dan-perempuan-dalam-beribadah-menuju-keluarga-sakinah
[16] Hery Sucipto dan Najmudin Ramly, Tajdid Muhammadiyah ; dari Ahmad Dahlan Hingga Amien Rais dan Syafii Maarif, (Jakarta : Grafindo, 2005), hal. 47.
[17] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama¸(Bandung : Remaja Rosda Karya, 2009), cet. V, hal. 136
[18] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2013), cet. IV, hal. 66.
[19] https://suaraaisyiyah.id/memahami-risalah-perempuan-berkemajuan/
[20] https://aisyiyah.or.id/hubungan-perempuan-dan-laki-laki-relasi-kuasa-atau-relasi-setara/ dan lihat Pimpinan Pusat Aisyiyah, Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2017), cet. II, hal. 4.
[21] Hamka, Akhlaqul Karimah, (Jakarta : Gema Insani Press, 2017), hal. 129
[22] Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid 6 ; Diperkaya dengan Pendekatan Sejarah, Sosiologi, Tasawuf dan Ilmu Kalam, Sastra dan Psikologi, (Jakarta : Gema Insani Press, 2018), Jilid 6, hal. 297
[23] Kata hijab disebutkan sebanyak 7 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam berbagai makna dan konteks, termasuk sebagai penghalang fisik dan psikologis. Ayat yang menyebutkan hijab diantaranya QS. Al-A’raf : 46, Al-Isra : 45, Maryam : 17, Al-Ahzab : 53, Shad : 32, Fushilat : 5 dan Asy-Syura : 51. Hijab tidak selalu merujuk pada penutup kepala wanita, tetapi juga bisa berarti penghalang, tirai atau pemisah, penghalang antara manusia dan Allah, atau antara manusia dengan sesuatu yang lain. Seperti QS. Al-Ahzab : 59 tentang perintah menutup aurat bagi wanita, namun menggunakan kata jilbab bukan hijab.
[24] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2019), hal. 301 dan 315-316.
[25] https://muhammadiyah.or.id/2022/03/perlukah-di-masjid-memasang-tabir-pemisah-jamaah-laki-laki-dan-perempuan/
[26] Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan; Ideologi, Khittah dan Langkah, (Yogjakarta : Suara Muhammadiyah, 2010), hal. 295.
[27] Asjmuni Abdurahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah ; Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012), cet. VI, hal. 55.
[28] Muchlas Abror, Muhammadiyah Mencerahkan Umat, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2015), hal. 245
[29] Haedar Nashir, dalam buku Manhaj Gerakan Muhammadiyah ; Ideologi, Khittah dan Langkah, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2013), hal. 394.
[30] Din Syamsuddin, Muhammadiyah untuk Semua, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2014), hal. 49
[31] Abdul Mu’ti, dkk, Beragama yang Mencerahkan ; Risalah Pemikiran Tanwir Muhammadiyah, (Jakarta : Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, 2019), hal. 167.
Referensi :
Abdul Mu’ti, dkk, Beragama yang Mencerahkan ; Risalah Pemikiran Tanwir Muhammadiyah, Jakarta : Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, 2019.
Asjmuni Abdurahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah ; Metodologi dan Aplikasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012.
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama¸Bandung : Remaja Rosda Karya, 2009.
Din Syamsuddin, Muhammadiyah untuk Semua, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2014.
Haedar Nashir, dalam buku Manhaj Gerakan Muhammadiyah ; Ideologi, Khittah dan Langkah, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2013.
Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan; Ideologi, Khittah dan Langkah, Yogjakarta : Suara Muhammadiyah, 2010.
Hamka, 1001 Soal Kehidupan, Jakarta : Gema Insani Press, 2017.
Hamka, Akhlaqul Karimah, Jakarta : Gema Insani Press, 2017.
Hamka, Buya Hamka Berbicara Tentang Perempuan, Jakarta : Gema Insani Press, 2017.
Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid 6, Jakarta : Gema Insani Press, 2018.
Hery Sucipto dan Najmudin Ramly, Tajdid Muhammadiyah ; dari Ahmad Dahlan Hingga Amien Rais dan Syafii Maarif, Jakarta : Grafindo, 2005.
Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih ; Tanya Jawab agama Jilid 7, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2015.
Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih ; Tanya Jawab Agama Jilid 4, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2013.
Muchlas Abror, Muhammadiyah Mencerahkan Umat, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2015.
Pimpinan Pusat Aisyiyah, Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2017.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2019.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2013.
Website : muhammadiyah.or.id, tarjih.or.id suaraaisyiyah.id, fatwatarjih.or.id
Download file PDF:





















