Home Kultum Kisah Fitnah Terhadap Aisyah Istri Nabi Muhammad SAW.

Kisah Fitnah Terhadap Aisyah Istri Nabi Muhammad SAW.

3651
0

Kultum Dzuhur disampaikan oleh Ustadz Muhammad Fadillah,S.Pd.I

Tema : Kisah Fitnah Terhadap Aisyah Istri Nabi Muhammad SAW.

Para istri Nabi Muhammad SAW merupakan perempuan-perempuan yang mulia. Kalangan sejarawan menjuluki mereka ummahatul mukminin atau ‘bundanya orang-orang beriman.’

Di antara para istri Rasul SAW ialah Aisyah. Ia merupakan putri Abu Bakar ash-Shiddiq, sahabat yang menemani Nabi SAW kala hijrah dari Makkah ke Madinah.

Dalam perjalanan hidupnya sebagai istri Rasul SAW, Aisyah mengalami suka-duka. Kedukaannya yang terekam sejarah ialah ketika dirinya diterpa fitnah.

Kisah ini dituturkan sendiri oleh Aisyah, seperti diriwayatkan dalam Sahih Bukhari dan Muslim sebagai berikut. Riwayat itu juga berkaitan dengan sebab turunnya surah an-Nuur ayat 11, sebagaimana dirangkum Jalaluddin al-Suyuthi dalam Luqaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul.

“Apabila Rasulullah hendak mengadakan perjalanan,” tutur Aisyah, “maka beliau (Rasul SAW) biasanya mengundi di antara para istrinya. Siapa yang namanya keluar, maka dialah yang ikut bersama beliau.

Dalam suatu peperangan, beliau mengundi kami. Karena nama saya yang keluar, saya pun ikut pergi bersama beliau. Peristiwa ini terjadi setelah turun wahyu yang mewajibkan hijab.

Di sepanjang perjalanan itu, saya pun diangkut di atas tandu dan tetap tinggal di dalamnya.

Ketika Rasulullah selesai dari peperangan, maka kami sedang dalam perjalanan pulang. Kami sudah dekat dengan Madinah.

Pada suatu malam beliau mengumumkan hendak melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mengumumkan keberangkatan, saya sedang pergi untuk menyelesaikan hajat.

Setelah saya menyelesaikan hajat, saya pun hendak kembali ke tandu saya. Namun, saya menyadari, kalung saya yang buatan Azhfaar telah putus dan hilang. Maka saya pun kembali ke tempat semula (tempat buang hajat) untuk mencari benda itu.

Saya masih mencari kalung itu di sana, sedangkan orang-orang yang mengangkut tandu saya sudah datang. Mereka pun mengangkat tandu itu ke atas unta. Mereka mengira, saya berada di dalam tandu itu.

Memang, umumnya perempuan pada masa itu tubuhnya ringan. Mereka hanya makan sesuap (sehingga jarang berbobot tubuh berat). Oleh karena itu, para pengangkut tandu itu tidak merasa heran dengan ringannya tandu ketika mereka mengangkatnya.

Mereka tuntun unta dengan tandu tersebut lalu berangkat. Sementara itu, saya baru menemukan kalung saya setelah pasukan itu pergi.

Ketika saya tiba di tempat peristirahatan mereka tadi, tidak seorang pun kelihatan. Akhirnya, saya menuju tempat istirahat saya semula. Saya pikir, mereka akan menyadari, saya tidak bersama mereka sehingga mereka akan kembali untuk mencari saya. Ketika saya duduk di tempat saya, saya merasa mengantuk sehingga tertidur.

Ketika itulah, Shafwan ibnul-Mu’aththal as-Sulami berjalan di belakang pasukan. Pagi hari itu, ia sampai di tempat saya.

Ia melihat seseorang sedang tertidur. Segera ia mengenaliku begitu melihat saya.

Dia memang pernah melihat wajah saya sebelum diwajibkannya hijab. Saya terbangun mendengar suaranya yang mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun!’

Saya pun buru-buru menutupi wajah dengan jilbab. Demi Allah, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada saya. Saya tidak mendengar sepatah kalimat pun keluar dari mulutnya selain ucapan innalillahi tadi.

Ia hanya menundukkan untanya, menginjak kakinya, lalu saya pun menaikinya. Kemudian, dia berangkat menuntun unta itu sampai kami tiba di pasukan yang sedang berhenti untuk beristirahat di siang hari yang terik.

Aisyah melanjutkan kisah tentang fitnah yang pernah menerpanya pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Istri Nabi Muhammad SAW itu mengungkapkan, kalangan munafik-lah yang begitu senang menyebarkan gosip bahwa dirinya berselingkuh.

“Orang yang paling getol dalam hal itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Aku tiba di Madinah, lalu selama sebulan aku jatuh sakit, sementara orang-orang menggunjingkan perkataan para penyebar gosip (ahlul-ifki). Waktu itu, aku belum menyadarinya sama sekali.
Barulah ketika aku agak sehat dan keluar bersama Ummu Misthah menuju Manaashi’ –yaitu tempat buang hajat kami–tiba-tiba Ummu Misthah terjatuh dan langsung mengatakan, ‘Celakalah si Misthah!’
Aku berkata, ‘Buruk sekali ucapanmu! Mengapa engkau memaki orang yang pernah ikut Perang Badar?!’
Jawabnya, ‘Duhai anakku, apakah kamu belum mendengar apa yang ia katakan?’
Aku bertanya, ‘Apa yang ia katakan?’
Maka, Ummu Misthah memberitahukan kepadaku ihwal perkataan ahlul ifki. Sejak saat itu, penyakitku tambah parah.
Ketika Rasulullah masuk ke bilikku, aku meminta kepadanya, ‘Apakah engkau mengizinkan aku mengunjungi rumah orang tuaku?’
Di rumah orang tuaku, sebetulnya aku hanya ingin memastikan kebenaran berita itu dari mereka. Beliau (Rasul SAW) mengizinkan.
Maka, aku mendatangi orang tuaku. Aku bertanya kepada ibuku, ‘Ibu, apa yang orang-orang di luar sana bincangkan?’
Ia menjawab, ‘Oh anakku, lapangkanlah hatimu. Demi Allah, kalau seorang perempuan sangat cantik dan dicintai suaminya serta dia punya madu, pasti madunya akan mengganggunya.’
Aku berkata, ‘Subhanallah!’ Apa benar orang-orang membicarakan hal itu?’
Aku pun menangis malam itu sampai pagi. Tidak pernah berhenti air mataku mengalir dan tidak sekejap pun aku tidur. Lalu paginya, aku masih menangis.
Kemudian Rasulullah memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid. Ketika itu, wahyu tidak turun-turun. Beliau meminta pendapat mereka berdua tentang kemungkinan menceraikan istrinya.
Usamah mengemukakan pandangannya tentang apa yang ia ketahui mengenai ketidakbersalahan istri beliau. Katanya, ‘Wahai Rasulullah, ia adalah istri Anda, dan kami tidak mengetahui kecuali kebaikan!’
Adapun Ali berkata, ‘Allah tiak memberi kesempitan kepada Anda. Perempuan selain dia banyak. Kalau Anda menanyai budak wanita itu, pasti dia akan menjawab sejujurnya.’
Maka beliau memanggil Bariirah dan bertanya, ‘Hai Bariirah, apakah kamu lihat sesuatu yang mencurigakanmu pada diri Aisyah?’
Bariirah menjawab, ‘Demi Allah yang mengutus Anda dengan kebenaran, saya tidak melihat sesuatu yang saya ragukan pada dirinya selain fakta bahwa dia hanyalah seorang gadis belia yang ketiduran menjaga adonan keluarganya sehingga datang ayam yang memakannya.’
Mendengar hal itu, Rasulullah bangkit lalu menuju mimbar. Di atas mimbar, beliau meminta uzur bagi Abdullah bin Ubay.

Kata beliau, ‘Wahai kaum Muslimin, siapa yang maklum kalau aku ambil tindakan atas seseorang yang menyakiti aku dengan memfitnah istriku? Demi Allah, aku tidak mengetahui selain kebaikan pada istriku!’”

Aisyah menceritakan kisah tentang dirinya yang sempat difitnah berselingkuh oleh orang-orang munafik. Fitnah itu begitu membuatnya sedih. Rasulullah SAW sebagai suaminya juga sedih. Apalagi, beliau waktu itu belum jua menerima wahyu dari Allah SWT yang dapat memutuskan perkara ini.

Waktu itu, Aisyah sudah meminta izin kepada Nabi SAW untuk sejenak pergi ke rumah orang tuanya, Abu Bakar ash-Shiddiq. Sementara, Rasul SAW sudah mengatakan kepada Muslimin, “Demi Allah, aku tidak mengetahui selain kebaikan pada istriku.”

Aisyah melanjutkan ceritanya:

“Hari itu, aku masih menangis. Air mataku tidak pernah berhenti menetes. Lalu, malam itu juga aku masih menangis, air mataku tidak pernah berhenti turun, dan aku tidak pernah tidur.

Kedua orang tuaku mengira, tangis akan merusak liverku. Ketika mereka duduk di dekatku sementara aku menangis, tiba-tiba seorang wanita Anshar meminta izin masuk.

Setelah kuizinkan, ia duduk dan menangis bersamaku. Kemudian Rasulullah SAW datang, mengucapkan salam, lalu beliau duduk.

Sudah sebulan beliau tidak menerima wahyu mengenai urusanku. Beliau mengucapkan syahadat lalu berkata, ‘Amma ba’du. Aisyah, aku mendengar begini dan begitu tentang dirimu. Kalau kamu tidak bersalah, pasti Allah akan menyatakanmu tidak bersalah. Namun, kalau kamu telah melakukan suatu dosa, mintalah ampun kepada Allah dan bertobatlah. Sebab, kalau seorang hamba mengakui dosanya dan bertobat, Allah akan menerima tobatnya.’

Usai mendengar beliau berkata demikian, aku katakan kepada ayahku, ‘Tolong saya, wahai ayah, untuk menjawab Rasulullah!’

Ia (Abu Bakar) berkata, ‘Demi Allah, aku tidak tahu apa yang mesti kukatakan!’

Lalu aku katakan hal yang sama kepada ibuku. Namun, ibuku juga berkata, ‘Demi Allah, aku tak tahu apa yang mesti kukatakan!’

Akhirnya aku berkata –sementara aku hanyalah seorang perempua belia–‘Demi Allah, aku tahu kalian telah mendengar hal ini hingga perkataan ini mantap dalam hati kalian dan kalian membenarkannya. Kalau kukatakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah–dan Allah Mahamengetahui bahwa aku tidak bersalah–pasti kalian tidak akan percaya ucapanku.

Dan demi Allah, aku tidak menemukan perumpamaan tentang aku dan kalian kecuali seperti perkataan ayahanda Yusuf (dalam surah Yusuf ayat 18), maka hanya bersabar itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.'”

Inilah bagian akhir dari penuturan Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq ihwal fitnah yang pernah menimpanya. Istri Nabi Muhammad SAW itu difitnah oleh orang-orang munafik bahwa dirinya berselingkuh. Fitnah ini sungguh membuat duka Aisyah dan Rasul SAW sendiri, begitu pula Abu Bakar, para sahabat yang mulia, serta Muslimin seluruhnya.

Hari itu, Rasul SAW mendatangi Aisyah, sedangkan Abu Bakar dan istrinya (para mertua Rasul SAW) berada di dekatnya. Saat itu, wahyu dari Allah SWT belum jua turun. Sehingga, Nabi SAW meminta klarifikasi dari istrinya itu.

Aisyah menegaskan dengan suara yang teramat sedih, dirinya telah difitnah berselingkuh.

Lalu,” kata Aisyah menuturkan, “aku kembali ke kamar dan berbaring di pembaringan. Demi Allah, Rasulullah belum meninggalkan tempat duduknya, dan belum keluar seorang pun dari dalam rumah ini.

“Akhirnya, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi SAW. Aku mengetahui ini karena (tampak) tubuh beliau bergetar. Begitulah keadaan beliau ketika menerima wahyu.

Setelah selesai (menerima wahtu), perkataan pertama yang diucapkan beliau adalah, ‘Bergembiralah wahai Aisyah! Allah telah menyatakan kamu tidak bersalah!’

Maka ibuku segera menghampiriku dan berkata kepadaku, ‘Bangun dan hampirilah Rasulullah!’

Aku berkata, “Demi Allah aku tidak mau menghampirinya. Aku hanya memuji Allah, sebab Dialah yang menurunkan pernyataan kesucianku.'”

Wahyu yang dimaksud adalah surah an-Nuur ayat 11-20. Inilah firman-Nya yang membebaskan Aisyah dari segala tuduhan dan fitnah keji.

Abu Bakar memaafkan

Abu Bakar mengetahui, salah seorang yang menyebar fitnah terhadap putrinya adalah Misthah. Ia adalah pembantu rumah tangga Abu Bakar. Bahkan, sahabat Nabi SAW sudah merawatnya sejak lama lantaran keluarganya miskin.

Abu Bakar berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memberi Misthah nafkah lagi setelah ia mengatakan (berita bohong) tentang Aisyah!”

Maka Allah menurunkan firman-Nya, yakni ayat 22 surah an-Nuur. Artinya, “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Setelah itu, Abu Bakar berkata, “Demi Allah, aku sungguh ingin Allah mengampuniku.” Maka, ia pun kembali memberikan nafkah kepada Misthah sebagaimana semula.

Semoga bermanfaat
Nashrun minallah wafathun Qoriib
Wabasyiril Mu’minin
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barokatuh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.